23. Berpisah

1.3K 196 71
                                    

Pagi itu, Albert sudah datang di kos Gendhis pada pukul 06. 00. Ia sengaja datang lebih awal untuk mengajak Gendhis sarapan lebih dahulu di sebuah warung di area Gejayan. Untuk urusan makan, tentu saja gadis itu sangat bersemangat.

Langkah Gendhis berderap saat menuruni tangga. Semua penghuni kos Edelweis milik Bu Nuh itu sudah hafal dengan kebiasaan Gendhis. Siapa yang akan menyangka bahwa gadis itu sedang patah hati? Semua pasti berpikir tidak ada kesedihan di kamus hidupnya saat melihat ia tersenyun lebar memperlihatkan deretan gigi putih yang kontras dengan kulit cokelat madu hutannya.

Namun, nyatanya tidak demikian. Gendhis tetap bisa merasakan rasa sedih, kecewa dan sakit hati. Dia bisa menangis. Hanya saja cukup sekali. Setelah makan kenyang hatinya terasa lebih tenang. Dengan seporsi daging rendang, kesedihannya pun berhasil ditendang. Ia seolah mempunyai tenaga untuk melawan rasa pilunya.

Begitu sampai di halaman depan kos, Gendhis yang sudah membawa helm menyapa Albert dengan cengiran. Ia kini mengenakan kemeja floral warna cokelat muda dengan celana kain cokelat tua. Sebuah tas ransel yang ditenteng melengkapi penampilan Gendhis pagi itu.

"Udah siap?" tanya Albert yang masih duduk di sadel motor. Lelaki itu terlihat segar dengan kemeja kotak-kotak biru dan jeans warna senada.

Gendhis mengangguk. Ia mengenakan helm dan duduk di belakang boncengan Albert. Tubuh lelaki yang tegap dan kekar itu menyembunyikan sosok Gendhis yang lebih mungil. Setelah Gendhis siap di boncengan, motor pun melaju meninggalkan kos menuju ke sebuah warung makan langganan Albert.

Lima belas menit kemudian mereka sampai di sebuah kedai makan bercat hijau. Di situ dijual makanan khas Jawa Timur. Ada rawon, soto Lamongan, pecel Madiun. Menjelang siang mereka akan menyajikan menu tahu tek dan rujak cingur. Albert berasal dari Surabaya. Ia menyukai masakan yang pedas dan sedikit asin. Menurutnya makanan Jogja itu terlalu manis di lidahnya.

"Kamu pesan apa, Ndhis?" tanya Albert begitu mereka masuk warung yang tak terlalu luas itu. Sudah ada beberapa orang yang sarapan di situ.

Gendhis memicingkan mata. Ia mengerucutkan bibir dan mengetuk-ngetuk dengan telunjuknya. Membaca sejenak menu yang tertempel di dinding, gadis itu kemudian memilih soto Lamongan untuk mengisi perutnya pagi ini.

Albert menyuruh Gendhis duduk di tempat duduk yang kosong sementara ia memesan makanan. "Yu, sotonya dua ya. Kasih bonus yang banyak!" Alis Albert naik turun menggoda sang penjual makanan.

Wanita muda itu tertawa kecil. Ia sepertinya sudah terbiasa dengan tingkah Albert. Nyatanya, jurus itu mampu membuat jatah daging ayam kampung Albert dan Gendhis lebih banyak porsinya.

Albert akhirnya duduk di depan Gendhis yang kini sudah melahap kerupuk. Kadang Albert heran, mulut Gendhis seperti sapi yang memamah biak. Rasanya tidak ada lelahnya mulut kecil itu mengunyah.

"Ndhis, kamu cacingan?" tanya Albert mengutarakan keheranan.

"Kenapa?" tanya Gendhis balik yang kini sibuk menuang sambal di atas kerupuk. Mulutnya memerah karena efek pedas cabai.

"Perasaan kamu makan terus tapi nggak melar."

Gendhis terkikik. Itu memang keuntungannya. Setiap kali ia makan, beberapa saat kemudian dia akan bongkar muatan. "Kalori habis untuk memperbaiki hatiku yang fraktur, Be," jawab Gendhis asal.

Albert mendengkus. Ia merasa nyaman bila bersama Gendhis yang tidak mengenal jaga image. Lelaki itu juga sangat salut dengannya. Biasanya gadis yang patah hati akan sembab matanya. Tapi Gendhis masih bisa tersenyum walau binar matanya tak seceria biasanya.

"Kamu suka banget sama Lud, ya?" Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan Gendhis karena sekarang gadis itu sedang sibuk kepedasan.

"Apa yang kamu suka? Masih gantengan aku." Albert mencebik.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang