Gendhis hanya mengerjap berulang saat bibirnya dikecup oleh bibir merah Lud. Aroma maskulin yang memabukkan membuat gadis itu perlahan memejamkan mata.
Bukan Gendhis namanya kalau mudah ditebak. Awalnya Lud berpikir hanya memberikan kecupan singkat. Nyatanya justru ia yang diserang oleh gadis hitam manis itu.
Lud semakin gelagapan karena bibirnya seperti tertempel lintah yang susah lepas. Pagutan mulut Gendhis seolah black hole yang menyedot apa pun yang ada di dekatnya.
"Hftt … hufftt!" Lud meronta berusaha melepaskan diri. Dengan keras akhirnya ia mendorong Gendhis.
Wajah lelaki itu memerah dengan napas ngos-ngosan. Ia menyapu bibir dengan punggung tangan, sementara matanya melirik tajam ke arah Gendhis yang menatapnya dengan sikap sok malu-malu.
Agaknya Lud salah strategi. Ekspresi Gendhis justru membuat Lud bergidik ngeri. Ia yakin bibir merahnya semakib merah dan bengkak karena perlakuan Gendhis.
"Ndhis, kamu mengerikan." Kuduk Lud meremang.
Gendhis menggigit sudut bibir, sambil menyibak anak rambutnya. Ia menepuk lengan Lud pelan. "Ih, Mas Lud apaan sih? Kaget tahu nggak sih, tiba-tiba nyosor kaya soang. Bilang dulu napa? Itu 'kan ciuman pertamaku."
"Kalau kamu bukan cium lagi, Ndhis! Tadi itu kaya mau makan orang! Bibirku sariawan semua nih bisa-bisa!" keluh Lud sambil menarik bibir bawah yang semakin memerah. Mata yang menjuling ke bawah berusaha melihat apakah ada luka dengan bibirnya.
Namun, bukannya minta maaf, mata belok Gendhis justru melebar. "Sariawan? Wah, enak banget bikin sariawan kaya gini. Klinik Oral Medicine besok aku ada requirement sariawan diameter 1-5mm. Temen-temen kelompok yang sekarang praktek pada kesusahan cari pasien. Bisa dong nanti kita …" Gendhis menjeda ucapan sambil melipat bibir. Tubuhnya bergoyang ke kanan dan ke kiri seolah gadis pemalu yang bertemu gebetan. "bikin sariawan yang menyenangkan."
Wajah Lud sontak kusut. Ia menggeleng dan memberi pandangan memohon ampun. Tidak! Ia tidak mau menjadi korban keganasan ciuman Gendhis dan menjadi kelinci percobaan gadis itu.
Mengalihkan bayangan ngerinya, Lud kemudian mencari topik bahasan lain. "Ndhis, kita jangan putus, ya?" pinta Lud dengan mengiba. Ya, mengiba supaya dia tidak dimarahi Mami Bella.
Gendhis mencebik. Ia masih mengingat perempuan yang ada di apartemen Lud. "Cewek tadi siapa?"
"Temenku. Tadi aku jatuhin air minum. Makanya aku pinjemin baju," kata Lud sejujurnya.
Mata Gendhis menyipit, menyelisik kedalaman mata Lud.
"Percaya sama aku. Masa iya baru tunangan langsung putus." Rasanya Lud ingin menampar bibirnya karena istri cowok hidung belang.
"Lagian ngapain diiyain aja? Jahat tahu nggak sih? Aku udah sedih banget!" ujar Gendhis memberi tatapan kesal.
"Maaf. Ini 'kan aku juga nyesel …," kata Lud mulai kehabisan kata. Kalau misalnya Gendhis tidak mau balikan, ia tidak punya cara lagi meyakinkan gadis itu. "Gimana?"
Gendhis mengangguk pelan sambil mengulum senyum.
Lud bisa bernapas lega. Setidaknya Gendhis tidak mempersulit. Lagi pula, kalau semakin dilihat, Lud menyadari wajah Gendhis begitu manis apalagi saat tersenyum dan memberi pandangan mengerjap. Sempat merasa 'putus' beberapa jam dari Gendhis sedikit memberikan rasa sedih bagi lelaki itu.
Mungkin karena Lud sudah terbiasa dengan keceriaan dan keabsurdan Gendhis, sehingga saat gadis itu minta putus, ada sedikit rasa kehilangan.
"Oya, weekend ini kamu mau ke Magelang? Mami pengen ketemuan," tanya Lud.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis "Sang Jomlo Legend"
ChickLit"Ah, kamu ini suka yang gratisan mulu. Sekali-sekali pesen napa? Nglarisin punya temen pahalanya banyak. Kali habis itu dapat lepas status jomlo legend-mu." - Clary. "Clary, kayanya aku harus makan nasi rendangmu biar jodoh sama belud!!" Gendhis Ar...