28. Rendang Cinta

817 151 81
                                    

Gendhis menimbang-nimbang beberapa hari ini. Otaknya yang penuh membuat tatapannya sering kosong. Selama ia beraktivitas di kampus, Gendhis menjadi pendiam. Bahkan para dosen Bedah Mulut heran, karena Gendhis tak melontarkan candaan saat diskusi.

Tentu saja Albert, teman baik Gendhis menyadari perubahannya. Begitu keluar dari ruang kuliah, ia menyambar tangan Gendhis begitu saja dan mengajaknya ke kantin. 

Gendhis tidak ada tenaga untuk memberontak. Selain tidak bisa tidur beberapa hari ini karena memikirkan permintaan Lud, ia juga kehabisan tenaga karena harus mengerjakan tugas.

Tubuh mungil itu hanya bisa pasrah ditarik oleh lelaki jangkung yang berwajah kebule-bulean. Begitu sampai di kantin, Albert mendudukkan Gendhis, dan menanyai gadis itu mau pesan makanan apa.

“Aku kenyang,” tolak Gendhis lirih.

Albert menempelkan punggung tangannya di dahi Gendhis. Ia mengernyit saat merasakan suhu tubuh Gendhis. “Ah, kamu demam. Pantas!”

“Aku sehat, kok!” Gendhis menepis tangan Albert karena mereka menjadi pusat perhatian di kantin itu. Pandangan iri karena kedekatan Albert dengan Gendhis tertuju pada gadis itu.

Albert mencibir. Ia menggelengkan kepala. “Kamu demam karena terinfeksi parasit, Ndhis!"

Bibir seksi Gendhis mengerucut. Ia memeriksa temperatur tubuhnya sendiri. “Cacingan?” Gendhis selalu dituduh cacingan, karena ia makan banyak tetapi tidak bisa gemuk. Seolah apa yang dimakannya dilahap habis oleh cacing penghuni pencernaannya.

“Bukan! Lebih dari itu?”

“Naga?” tebak Gendhis asal. Albert menggeleng lagi. “Terus?”

“Belud!”

Gendhis berdecak. Ia mendudukkan pantatnya dengan kasar di kursi kayu panjang. Arah duduknya masih membelakangi meja. Ia mendongak dan memberikan tatapan sengit pada Albert.

“Nggak usah sebut-sebut Belud lagi! Pusing aku dibuatnya. Licin bener tuh lakik. Nggak tahu maunya apa!” Akhirnya ia menyemburkan uneg-unegnya pada Albert. Sejak Albert menembaknya dan ditolak oleh Gendhis, gadis itu menjadi tidak leluasa curhat tentang Lud.

“Kan, betul apa kataku!” Raut Albert terlihat bangga. “Kenapa pusing? Kalian sudah putus. Kamu yang gamon aja. Padahal ada aku yang akan selalu berada di sampingmu.” Albert berusaha merangkul Gendhis. 

Gendhis menggeliat, menolak rangkulan cowok ter-play boy se-fakultas. “Ndhis, kamu bener-bener bikin hatinya fraktur.”

“Be, please!” Suara Gendhis terdengar kesal.

Mengetahui Gendhis yang suasana hatinya tak nyaman, Albert berdiri. “Aku pesenkan nasi rendang ya? Biar kesedihanmu ketendang. Sama teh hijau yang bisa segerin gerah bodi dan hati. Aku traktir deh.”

Gendhis tidak menjawab. Ia hanya melirik Albert yang menjauh. Sungguh sifat Lud dan Albert bagai bumi dan langit. Seperti siang dan malam. Seandainya Lud seperhatian Albert, pasti Gendhis akan menjadi gadis yang paling bahagia di dunia ini.

Begitu seporsi rendang dipadu dengan teh hijau dalam kemasan botol yang katanya bisa bikin segar gerah body dan hati tersaji, Gendhis pun melahap sampai tandas. Lelaki yang duduk di depannya, memakan menu yang sama itu tersenyum simpul. Mana bisa gadis itu menolak makanan. Gratis pula.

“Hah, emang ya, makan rendang bikin hati tenang.” Gendhis mengelap mulutnya dengan tisu yang ada di atas meja.

“Jadi, kenapa kamu bingung?” tanya Albert langsung begitu tahu mood Gendhis sedikit lebih baik.

“Gini, Be. Mas Lud pengen balikan lagi. Tetep nerusin rencana pernikahan kami.” Gendhis pun buka suara.

Albert mencebik. Gendhis benar-benar tidak bisa ia rebut hatinya dengan rayuan maut apapun. “Terus?”

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang