Gendhis memilih mundur. Sifat pengecut karena tidak ingin menyesal dengan keputusannya menikahi Lud itu membuatnya menapakkan kaki keluar lagi dari apartemen. Gendhis jengah dengan dirinya akhir-akhir ini.
Setahu Gendhis setiap membaca buku dongeng, pada akhir cerita pernikahan sang putri dan pangeran akan dibubuhi kata 'And they lived happily ever after'.
Namun, rupanya bahagia selama-lamanya setelah menikah itu hanya ada di buku cerita dongeng. Sama sekali tidak berlaku di kehidupan nyata. Karena yang terjadi bagi Gendhis, menikah justru seperti membuka buku cerita baru. Maunya Gendhis membuka cerita romantis yang mengharu biru atau cerita komedi dalam babak kehidupan pernikahannya.
Sepertinya harapannya itu tak menjadi nyata, karena Gendhis merasa ia sedang membaca kisah tragedi yang menguras air mata.
Kalau seperti ini, Gendhis teringat nasihat Papa Dimas dan Mama Gempita sebelum memutuskan akan menerima lamaran Lud. Hanya saja saat itu Gendhis seolah menutup telinga. Padahal Papa Dimas berpesan agar Gendhis memikirkan matang-matang. 'Pernikahan itu sekali seumur hidup. Bila sudah disatukan Tuhan, tidak akan ada lagi jalan mundur', begitu nasihat Papa Dimas.
Kini Gendhis risau ...
Ingin maju tapi ngilu ....
Melangkah mundur juga hatinya akan hancur ....
Dua-duanya sama tak enak. Seperti memilih menelan pil pahit atau minum jamu brotowali.
Langkah Gendhis kini tergesa saat keluar dari lantai dasar apartemen. Bahkan satpam yang ada di pos depan tak ia sapa seperti biasanya. Pandangannya mulai mengabur karena bola matanya terselimut bulir bening. Namun lagi-lagi Gendhis pantang menangis. Ia membutuhkan sesuatu yang bisa menenangkan batinnya yang bergejolak.
Gendhis akhirnya memutuskan untuk memasuki sebuah kafe es krim yang ada di depan apartemen. Ia membutuhkan sesuatu yang manis untuk menawarkan kepahitan hidupnya. Selain itu makanan atau minuman dingin seperti berguna untuk menyegarkan batinnya yang panas.
Tak menunggu lama setelah memesan, sebuah es krim beraroma durian tersaji di depannya. Gadis itu pun segera melahap habis satu porsi es. Namun tetap saja, saat matanya mengerling ke arah apartemen, batinnya kembali tersayat-sayat.
Hatinya bertanya, sedang apa Lud dan Jati di dalam. Tidak mungkin bukan Lud berbuat macam-macam di ranjang mereka yang bahkan belum pernah mereka pakai kecuali untuk tidur? Sungguh dugaan-dugaan itu melayang di kepalanya.
Saat pikiran negatif Gendhis berkelana tak tentu arah, notifikasi panggilan berdering kencang dari saku celananya. Gendhis buru-buru merogohnya, dan mendapati wajah Albert dengan rambut gondrongnya di layar gawai.
Gendhis mengembuskan napas panjang. Sungguh, setan selalu tahu saat yang pas. Dia memberikan apa yang Gendhis butuhkan saat itu. Teman berbagi cerita.
"Hallo, Be?" sapa Gendhis begitu ia menggeser tanda menerima panggilan.
"Kamu di mana, Ndhis? Bindermu ketinggalan di ruang kuliah. Kamu tadi lari gitu aja. Aku telepon nggak dijawab."
Gendhis mendengkus. Sifat cerobohnya kumat lagi. Bagaimana bisa ia meninggalkan binder yang berisi catatan kuliahnya? Padahal di situ ada beberapa curahan hatinya selama ini. Gendhis hanya berharap Albert tidak membukanya.
"Aku udah pulang. Awas jangan dibuka!"
Terdengar gelak tawa dari balik speaker ponsel Gendhis. Gadis itu pun menggeram kesal. Tawa setan Albert itu mengindikasikan ia sudah membaca semua kata yang tertoreh di atas kertas dalam binder.
"Ndhis, aku ke apartemen ya?" tanya Albert.
"Aku nggak di rumah," kata Gendhis sengit.
"Katanya pulang?" kejar Albert.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis "Sang Jomlo Legend"
Literatura Feminina"Ah, kamu ini suka yang gratisan mulu. Sekali-sekali pesen napa? Nglarisin punya temen pahalanya banyak. Kali habis itu dapat lepas status jomlo legend-mu." - Clary. "Clary, kayanya aku harus makan nasi rendangmu biar jodoh sama belud!!" Gendhis Ar...