36. Perdebatan

783 145 25
                                    

Lud sama sekali tidak bisa tidur malam itu. Berulang kali ia melongok ke arah ponsel yang diisi dayanya. Namun tetap saja layar gawai itu gelap. Sama sekali tak ada panggilan masuk atau pesan dibalas dari Gendhis atau Clary. Padahal sudah lebih dari dua puluh kali ia mencoba keduanya.

Lud berjalan hilir mudik di ruang tengah. Ia berdecak di sela gumaman merutuk Gendhis yang membuatnya cemas. Lelaki itu menggigit bibirnya sambil menyeka dagu seolah ingin menghapus gelisah.

"Lihat saja, Ndhis! Kamu belum tahu kalau aku marah!" Lud mendengkus. Setiap lima menit ia menengok ke arah pintu depan, tapi pintu itu tetap setia tertutup.

Kesendirian lelaki itu ditemani oleh keriuhan detikan jarum jam. Hingga tak terasa kegelapan malam sirna saat matahari sudah menampakkan sinarnya. Kini, waktu sudah menunjuk angka enam dan Gendhis tak juga kelihatan. Lud kembali duduk untuk kesekian kali ia berdiri dan berjalan mondar mandir. Disandarkannya punggung yang terasa lelah. Ia memejamkan mata untuk mengusir penat sejenak.

***

Semalaman Gendhis menemani Clary. Gendhis bisa membayangkan bagaimana terkejutnya sahabat baiknya itu. Gendhis yang tidak ada hubungan dengan keluarga Clary pun sama kagetnya dan tidak percaya bahwa Clary adalah anak hasil pemerkosaan.

Karena semalam tidur terlambat, dua gadis itu bangun agak terlambat. Clary turun lebih dulu dari ranjangnya, sedang Gendhis masih bermalas-malasan di atas kasur.

"Semalam sepertinya Lud menelepon," kata Clary begitu bangun pagi tadi.

"Iya, aku nggak bawa charger. Lubang chargermu kan beda dengan punyaku," jawab Gendhis sambil melipat selimut yang mereka pakai tidur semalam.

"Sampai 60 missed call loh." Clary membeliak. "Ada pesannya juga, 'Cla, Ndhis di tempatmu'."

Clary terkikik. Ia tidak bisa membayangkan wajah datar Lud yang sedang kalut mencari si Lokomotif Eksotis. Bahkan Si Patung Lilin itu sampai nekat meneleponnya.

"Biarkan saja. Biar tahu rasa dia!" jawab Gendhis judes.

Dengan ojek online yang dipesankan Clary, akhirnya Gendhis pulang ke apartemennya. Tak banyak berpikir, Gendhis melangkah dengan hati galau. Ia masih memikirkan bagaimana nasib Clary selanjutnya.

Gendhis menggeleng. Saat ini bukan nasib Clary yang harus ia pikirkan. Ia harus memikirkan nasib cinta dan cita-citanya yang terancam ambyar.

Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 di jam tangan yang melekat pada pergelangan gadis manis itu, saat ia membuka pintu apartemen. Ia sengaja membuka pelan, tak ingin membuat keributan. Dengan berjingkat, Gendhis melangkah layaknya pencuri yang takut ketahuan. Bahkan saat menutup pintu pun ia sampai meringis seolah ekspresinya bisa mencegah gaung suara di ruangan kecil itu.

Namun, saat berbalik, Gendhis terkesiap. Wajah kusut Lud yang memerah sudah menghadangnya. Gadis itu masih berdiri di depannya menatap sang suami yang tampak menahan marah.

"Kamu dari mana, Ndhis?" tanya Lud dengan suara dingin. Kuduk Gendhis terasa meremang karena sergahan Gendhis.

Gendhis memicing tak mau kalah. Untuk apa lelaki itu marah-marah? Harusnya dia yang marah. Pikir Gendhis dalam hati.

"Emang kenapa? Ada apa nggak ada aku 'kan Mas Lud biasa aja!" jawab Gendhis ketus.

"Kamu itu istriku!" Nada Lud meninggi. Suara Lud itu seolah seperti minyak yang mengguyur amarah Gendhis yang sempat terlupa semalam.

"Oh ya? Kenapa aku nggak ngerasa jadi istri Mas Lud? Ah, aku ini seperti berstatus nikah rasa jomlo!" Wajah cokelat madu itu semakin memerah seiring emosi yang menggelegak.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang