🦄3. Hidup Baru🦄

746 73 2
                                    

Gendhis sudah tidak sabar ingin pindah dari kos-kosan Melati. Kos-kosan itu sudah tidak kondusif untuk kesehatan jiwa. Suara kikikan dan tatapan aneh seolah Gendhis adalah alien dari antah berantah, membuat gadis itu muak.

Mungkin kalau ada Clary, dia akan bertahan. Karena si 'lola Clary' selalu mendengarkan, walaupun tidak tahu esensi di balik apa yang dicurhatkan Gendhis, karena otak yang meloading lambat itu hanya menyediakan telinga yang digunakan sebagai tempat sampah Gendhis.

Malam ini, satu kardus terakhir sudah ter–packing. Gendhis menutup rapat kardus itu dengan isolasi besar. Tepatnya ada 5 karton besar yang akan diusung oleh Gendhis ke kos barunya. Terlebih ia sudah tidak sabar karena ia akan bertetangga dengan makhluk Tuhan yang rupawan.

Gendhis melupakan pekerjaannya. Ia melamun sambil terkekeh tak jelas saat imajinasinya berkelana tak tentu arah. Namun, notifikasi gawai yang berbunyi nyaring membuat lamunannya sontak buyar.

"Abe?" gumam Gendhis dalam hati, seraya menepikan kardus-kardusnya di sisi dinding kamar yang longgar.

Jarinya kemudian menggeser permukaan layar untuk membuka pesan dari teman baiknya, Albert yang ia panggil Abe.

[Abe]

Ndhos, kamu jadi pindahan deket rumah Clary?

[Gendhis]

Iya. Napa?

[Abe]

Asikk. Bisa ketemu Cla lagi dong.

[Gendhis}

Sadar. Dia udah ada yang punya.

[Abe]

Hehehe, namanya juga usaha.

Gendhis mendesah. Selalu seperti ini. Para lelaki selalu mendekati Gendhis dalam rangka ingin menarik hati Clary, karena mereka tahu Gendhis adalah sahabat baik gadis lola itu.

Namun, tak sedikit pun Gendhis iri dengan Clary. Karena wajah cantik sahabatnya tak didukung oleh kecepatan berpikir saat diajak bercanda kecuali dalam hal uang.

Setelah menjalani ritual sebelum tidurnya—menyikat gigi dan mencuci muka—akhirnya Gendhis naik ke kasur yang besok tak lagi ditiduri.

***

Pukul 09.00 Gendhis baru terbangun dari tidur. Gadis itu paling suka molor pada hari Minggu bila tidak ada kegiatan atau pulang ke rumah. Matanya mengerjap sejenak untuk membiasakan cahaya matahari yang masuk ke dalam pupil mata. Dengan malas, Gendhis menegakkan tubuh, menyeka sudut-sudut mulut untuk membebaskan kulit eksotisnya dari gambaran pulau yang bisa saja tercetak selama ia tidur.

Dengan jemari, Gendhis menyisirkan rambut yang acak, lantas bangkit untuk menyalakan lampu kamar. Melihat tumpukan kardus, nalar Gendhis kembali ke otak, dan menyadari bahwa hari ini adalah hari pindahan. Gendhis menyeringai menarik bibir penuh di wajah. Gadis itu lantas keluar meraih handuk dan masuk ke kamar mandi.

Tak butuh waktu lama, bagi Gendhis mandi. Digosok seperti bagaimana pun menggunakan sabun merk apa pun, Gendhis paham, kulit eksotisnya tetap akan berwarna gelap. Setelah menyelesaikan semuanya, termasuk panggilan alam yang selalu ingin mengeluarkan isi usus besar di pagi hari, Gendhis bergegas keluar untuk menjawab panggilan telepon yang dari tadi berdering.

Dengan berbalut handuk sebatas dada, Gendhis keluar begitu saja dari kamar mandi sambil menenteng alat mandi dan pakaian yang tadi dikenakan. Begitu sampai di kamar, gawai Gendhis sudah bergetar dan berteriak-teriak ingin diangkat.

"Ya, Cla?" tanya Gendhis begitu menerima panggilan.

"Udah siap?" tanya Clary.

"Udah." Jawaban Gendhis itu hanya disambut dengkusan Clary. Kategori "siap"–nya Gendhis sedikit lain dengan manusia lain.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang