40. Geliat Belud

1.4K 153 72
                                    

Gendhis hanya terdiam. Ia memang sudah tahu kenyataan itu. Kini ruangan berukuran 3x3 m itu, hanya diisi oleh detikan jarum jam.

Melihat diamnya Gendhis, dan ekspresi tak terkejut yang biasa ditunjukkan bila mendengar sesuatu yang aneh, Albert menduga Gendhis pasti sudah tahu dari Clary.

“Kamu udah tahu ya, Ndhis?” Pertanyaan retoris itu disampaikan oleh Albert. Gendhis hanya mengangguk.

Mata Albert memerah. Ia memalingkan wajah dari Gendhis. Melihat Albert yang terlihat canggung, Gendhis bangkit, lalu duduk di tepi ranjang yang spreinya masih berserakan. Ia menepuk punggung sahabatnya.

“Ndhis, mamaku nungguin selama dua puluh tahun lebih, ternyata papa kandungku udah sekarat.” Suara ceria Albert seolah luruh ditelan kesedihan. Gendhis sangat paham, sahabatnya itu sangat menyayangi mamanya.

“Setidaknya, mamamu kan bisa ketemu papamu lagi,” kata Gendhis berusaha memberi penghiburan.

“Ndhis, boleh peluk kamu?” pinta Albert sendu.

Kali ini Gendhis mengangguk. Ia memberikan pelukan persahabatan sambil menepuk punggung sahabatnya. Albert tahu, gadis yang dipeluknya ia benar-benar menganggapnya sebagai sahabat. Sepertinya Albert harus benar-benar menghapus perasaannya pada Gendhis.

Gendhis melerai pelukannya. Baru kali kali ini ia mendapati wajah kusut Albert. “Be, tugasnya nanti aku yang kerjakan dulu. Jaga kesehatan. Kasihan mamamu, kalau kamu sakit. Ehm?”

Albert mengangguk. 

Sesudah meyakinkan sahabatnya baik-baik saja, Gendhis berpamitan pulang. Dalam perjalanan, ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi pada Clary dan Albert. Dua-duanya adalah sahabat terbaik yang mau menerima dirinya apa adanya. Pasti tidak mudah bagi keduanya menerima kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang lelaki yang tidak bertanggung jawab.

***

Sepanjang perkuliahan hukum Agraria, Lud tak bisa menyembunyikan senyumannya. Wajah datar Lud sirna sejak ia merasakan kembali belutnya menggeliat saat bangun pagi. Lama ia tidak merasakan sensasi layaknya kaum Adam yang normal. 

Semua itu berkat pengobatan dari dokter androgennya, bantuan psikiater, dan dukungan Gendhis yang menerima dirinya apa adanya. Kebahagiaannya juga semakin nyata saat sang dosen pembimbing memberi kabar bahwa bab pembahasannya disetujui. Itu artinya selangkah lagi dia akan mendapat gelar sarjana hukum. 

Jati yang melihat Lud yang tidak bisa menghentikan kuluman senyum, alih-alih memperhatikan dosen yang mengajar di depan, ia justru melempar pandangan heran.

"Kamu kenapa, Lud? Tumben nggak cool. Konslet ya?" tanya Jati asal.

Lud mendengkus. Sambil melirik dosennya, agar tidak ketahuan bercakap, ia berbisik. "Nanti aku ceritain."

Sepanjang kuliah hukum agraria Jati tidak berkonsentrasi. Padahal ia mengulang mata kuliah itu karena nilainya mendapat D di semester sebelumnya.

Begitu dosen menutup perkuliahan, Jati menarik Lud ke pojok lorong lantai dua. Lorong itu tidak banyak dilalui mahasiswa, sehingga Lud bisa bebas bercerita. Jati sudah tidak sabar karena tergelitik dengan sifat ingin tahunya.

"Kenapa kamu, Lud? Jangan-jangan beneran jadi pasien tetap Dokter Bertrand?" Jati memandang prihatin.

"Sontoloyo! Aku nggak gendheng, Jat." Lud menghela napas terlebih dahulu sebelum menceritakan rahasianya yang lain pada sang sahabat. Ia menengok ke kanan dan ke kiri seolah takut ada yang menguping. "Aku ereksi, Jat. Gila nggak sih? Aku ereksi lagi!"

Mata sipit Lud membelalak. Senyuman lebar terukir di wajah.

Jati mengerjap. Ia menurunkan pandangan ke arah resleting celana jeans Lud. "Uih, nggak nyangka! Berarti habis ini kamu belah duren dong."

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang