Banyak alasan kenapa Gendhis menjadi posesif. Menjadi jomlo legend bukanlah predikat yang mengenakan. Setelah mendapatkan Lud yang kini menjadi calon suaminya, tak serta merta membuat Gendhis tenang.
Justru jiwa posesif Gendhis meronta dalam dada.
Siang ini, Gendhis ingin memberi kejutan pada Clary dengan datang ke tempat wisuda. Gendhis tak tega mendapati temannya ke wisuda seorang diri. Maka, semalam ia membujuk Lud agar mau mengantar.
Walau bersungut-sungut, Lud tetap saja menjemput Gendhis di rumah. Tapi wajah Lud memang licin seperti nama lain yang diberikan untuknya. Bagaimana tidak? Setelah bermuka masam, dalam hitungan detik lelaki itu langsung berganti ekspresi tersenyum ceria hingga pipinya menggelembung, saat menyapa ayah Gendhis.
"Mas Lud, titip Gendhis, ya? Tahu sendiri 'kan anak ini ceroboh banget." Dimas, papa Gendhis, datang menyambut calon menantunya. Lelaki berusia lima puluh tahun lebih itu mempunyai senyum seperti Gendhis. Matanya ceria dengan senyum kocak yang selalu terbingkai wajah.
"Sifat ini 'kan nurun dari Papa." Gendhis selalu tidak ingin dipersalahkan.
"Ya, kan berarti kamu anak Papa," kilah Dimas.
"Iya, artinya kamu bukan anak nemu di comberan!" timpal Kumbang sambil mengulurkan kardus berisi oleh-oleh untuk anak-anak kos.
"Mas Kumbang, tolong, ya!" decak Gendhis sambil memutar bola mata.
Tak dipungkiri, kecerobohan Dimas dan Gendhis sama-sama mengkhawatirkan. Buktinya sekarang, kancing kemeja yang dikenakan lelaki itu tidak masuk di lubang yang seharusnya.
"Pa, malu ih, tuh kancingnya nggak bener." Gendhis mendesah seolah prihatin dengan sikap papanya. Padahal ia sebenarnya tak kalah parah dari Dimas.
Gendhis membetulkan letak kancing Dimas. Lelaki paruh baya itu memperhatikan putrinya, tak menyangka enam bulan lagi akan menyerahkan pada Lud Keandra. Terus terang, Dimas terkejut dengan berita bahwa Gendhis akan dilamar. Pacarannya kapan, tiba-tiba dilamar? Bahkan ia berpikir anaknya hamil duluan. Namun, mami Lud meyakinkan bahwa Gendhis masih murni. Keinginan lamaran memang karena desakan dari akong Lud yang tak sabar ingin menggendong cicit.
Sejujurnya, Dimas masih belum rela Gendhis menikah. Namun, siapa yang bisa menentang keinginan kukuh anak itu? Apalagi Gendhis sudah cinta mati sepertinya dengan Lud. Melihat Lud yang sopan, bahkan pernah mendapat pendidikan di seminari menengah sebelum akhirnya dipaksa keluar oleh keluarga, mau tidak mau Dimas menyetujui.
Setelah berpamitan dan berkali-kali masuk keluar karena ada saja barang yang tertinggal, akhirnya mereka berangkat. Mobil hatchback warna merah kini menyeruak keramaian jalanan Solo-Jogjakarta. Gendhis tak bisa menyembunyikan senyum riangnya. Kaki gadis itu berulang kali bergerak, sambil matanya mengamati cincin yang melingkar di jari manis kiri.
Lud sesekali melirik Gendhis. Ia hanya menggelengkan kepala saja melihat tingkah Gendhis yang berlebihan.
"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" Alis Lud terangkat satu. Ia melirik ekspresi Gendhis yang kini menghadiahi cengiran.
"Ya Tuhan, kita udah tunangan, Mas? Gila nggak sih? Gila nggak sih? Arggghh!!" Kaki Gendhis bergerak naik turun meredam gejolak suka cita. "Mas Lud nggak happy?" Mata belok itu menatap Lud yang berdecak.
Lelaki itu kembali meluruskan pandangan ke depan, sedikit menyesal mengajak Gendhis bicara tentang pertunangan. Rasanya tidak usah ditanya Lud sudah tahu jawabannya. Gendhis terlalu ekspresif sehingga gerak-geriknya mudah diterka.
"Biasa aja," kata Lud dengan jujur. Tapi justru Gendhis menarik pipi tunangannya, membuat lelaki itu terpekik. "Apaan sih? Bahaya tahu!" sergah Lud.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis "Sang Jomlo Legend"
Literatura Feminina"Ah, kamu ini suka yang gratisan mulu. Sekali-sekali pesen napa? Nglarisin punya temen pahalanya banyak. Kali habis itu dapat lepas status jomlo legend-mu." - Clary. "Clary, kayanya aku harus makan nasi rendangmu biar jodoh sama belud!!" Gendhis Ar...