🦄6. Melepas Jomlo🦄

562 66 2
                                    

Mengerikan ...

Kata itu sama halnya dengan body shaming yang sering terlontar dari mulut para lelaki yang menolaknya. Secara langsung atau tidak langsung. Walau dengan bercanda, kadang hatinya terluka.

Dan orang lain tidak akan paham apa yang dirasakan. Mereka cantik, dengan kadar melanin minimal, yang menjadikan para gadis di luaran sana berkulit lebih cerah.

Gendhis menghela napas panjang. Gendhis yang ceria itu tetap saja Gendhis yang mempunyai perasaan. Body shaming yang bertubi didapatnya membuat dirinya minder. Beruntung gaya cueknya dan slebornya menutupi rasa rendah diri.

Gendhis menenggelamkan wajah di kaki yang dilipat saat duduk di atas kasur. Kenangannya ditolak karena warna kulitnya membuatnya jengkel dan minder.

"Dik, jangan dengarkan kata orang. Kamu cantik dari hatimu ...."

Gendhis mengembuskan napas kasar. Teringat kata Papanya yang mengatakan cantik dari hati. Sayangnya, para pemuda itu tidak melihat sampai sedalam itu. Lelaki seusianya rata-rata melihat fisik.

Gendhis menangis. Merutuki kecerobohannya yang membuat Lud mengetahui kebohongannya. Dengan sesenggukan, dia melangkah turun dari kasur, menuju jendelanya.

Dibukanya sedikit jendela itu, mendapati Lud yang sedang duduk di kursi meja belajarnya menghadap ke arah luar jendela.

Entah kenapa, rasa sakit saat Bima menolaknya tidak setara dengan rasa perih di hatinya saat Lud mengatakan kata 'mengerikan'. Bukan ditujukan pada fisiknya, melainkan pada sikapnya.

Gendhis menyandarkan kepalanya di kusen jendela, mengamati pemuda yang komat-kamit mulutnya. Tanpa sengaja mereka bersitatap. Lud tak menutup jendelanya, tetapi membalas tatapan Gendhis yang sendu.

"Maaf." Gerakan bibir Gendhis mengurai kata itu.

Namun selanjutnya Lud memilih menutup jendelanya.

***
Lud menutup jendela kamarnya. Wajah Gendhis yang memasang ekspresi memelas membuat Lud merasa ucapannya keterlaluan.

Gawai berbunyi, dan dilihatnya nama 'Mami' terpampang di layar smartphone–nya. Lud mengangkat panggilan, dengan menggeser tanda menerima panggilan.

"Ya, Mi?"

"Nyo, udah dapat kabar baik belum?" Lud mendengkus.

"Kabar baik apa?" tanya Lud.

"Jangan pura-pura tidak tahu. Gimana sudah dapat pacar ... perempuan!!"

"Ya Tuhan, Mi! Kenapa perempuannya diperjelas??" Lud terdengar gusar.

"Gimana nggak diperjelas, Mami ingat kamu sewaktu keluar dari Seminari trus melanjutkan ke SMA De brito ada gosip yang mengatakan kamu gay, dan sampai sekarang kamu belum pernah mengenalkan pacar. Semua yang datang laki-laki yang seolah ingin memacari kamu!"

Lud mengusap wajahnya kasar. "Mi, Lud ikut LSM HIV-AIDS yang beberapa dari mereka ya ... Mami tahu adalah LGBT, atau kadang PSK."

"Dan Mami takut kamu ikut-ikutan mereka. Ya ampun Sinyo, jangan bikin Mami cemas kenapa? Akongmu sudah nanya terus, kapan cucunya akan menikah, kapan akan punya cicit."

"Mi, aku bukan sapi pejantan yang bertugas meneruskan keturunan," protes Lud.

"Mami tahu. Tapi kamu tahu kan? Keluarga kita susah punya anak laki-laki. Hanya kamu yang bisa meneruskan keturunan nama keluarga kita."

"Mi, aku juga masih kuliah—"

"Nyo, minggu besok kami semua mau ke Yogya, ada acara nikahan sepupumu. Mami mau kamu datang dengan mengenalkan pacar barumu. Berusahalah beberapa hari ini. Dah!!"

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang