34. Dewi Fortuna Telah Pergi

785 138 26
                                    

Gendhis termangu dalam perjalanan pulang ke apartemen. Albert yang merasa dijauhi Gendhis, mengejarnya. Langkah lelaki itu yang berderap menggaung di lobi. Mengundang perhatian para mahasiswa lain.

Dalam jarak satu langkah, Albert menunduk dengan tangan meraih lengan Gendhis. "Ndhis!"

Tubuh Gendhis berbalik. Seketika mata Albert membulat mendapati mata sembap Gendhis.

"Ndhis, kamu kenapa?" tanya Albert dengan kedua alis terangkat. Tangannya masih mencengkeram lengan Gendhis.

"Be, jangan gini," pinta Gendhis mengiba. Ia berusaha melepas jari Albert yang menggenggam lengan kanannya.

Namun, Albert tak memedulikan pinta Gendhis. Lelaki itu menarik Gendhis untuk menepi. Gendhis hanya bisa pasrah mengikuti tarikan Albert.

"Ndhis, kamu kenapa menjauhi aku? Beberapa hari ini kamu menghindar!" sergah Albert.

"Be, kamu tahu kan aku ini udah jadi istri Lud! Mas Lud lihat kamu cium aku di depan apartemen! Dia marah besar karena pikir aku selingkuh." Suara Gendhis tak kalah meninggi.

Albert mendengkus. Wajahnya mengukir seringai. "Syukurlah dia marah."

Mata Gendhis melotot. Wajahnya semakin mendung. 

"Biar dia tahu rasa karena udah nyakitin kamu." Albert terkekeh ringan. Dalam hati ia senang karena Lud tahu istrinya ia cium. Sebenarnya ciuman itu terjadi begitu saja. Ia ingin menghalangi pandangan Gendhis saat melihat Lud yang berboncengan lengket dengan Jati. Ia tidak ingin Gendhis terluka. Atau itu hanya alasan Albert agar bisa mencecap pipi eksotis milik gadis yang selalu membuatnya penasaran?

"Jangan gitu. Sekarang pernikahanku kacau! Kuliahku pun terancam molor!" Mata Gendhis memerah. 

"Molor?" Albert belum tahu apa yang terjadi. Ia hanya tahu Gendhis membuat masalah pelik dengan residen dan dosen dua bagian.

Gendhis mengeratkan rahang, berusaha tidak meluapkan emosinya. Bibir yang bergetar digigitnya erat.

"Ndhis, cerita aja. Kali aja aku bisa bantu." Albert memegang dua bahu Gendhis. Tubuh jangkungnya menunduk, menyamakan wajahnya dengan Gendhis.

Mata Gendhis yang berkaca-kaca, mulai menitikkan bulir bening. Dengan tersendat, ia berkata, "Be, aku diskors blok satu. Aku … aku …."

Gendhis menunduk. Kenapa harus bercerita dengan Abe dan bukan dengan Lud yang nyata-nyata suaminya?

Rambut yang menjuntai itu bergoyang seiring getaran badan Gendhis. Lelaki itu menegakkan tubuh lalu menarik Gendhis dalam dekapannya.

Gendhis pasrah. Persetan dengan setan yang tahu kebutuhannya. Ia butuh bahu untuk menyandarkan kepalanya yang pening.

Setelah tenang, Gendhis melerai rengkuhannya. Ia menyeka mata, sambil berusaha tersenyum. "Aku harus berusaha nyari kasus overdenture yang sama, Be. Setidaknya itu caraku memperbaiki keadaan."

"Aku temani ya?"

Gendhis menggeleng. "Jangan terlalu baik, Be. Aku takut baper dan menodai kemurnian pernikahanku."

Albert memandang kosong sosok Gendhis yang berlalu. Gadis ceroboh itu cukup bijak dan bisa menjaga dirinya agar tidak terjebak dosa. Tidak seperti mamanya yang bucin dan menyerahkan segalanya demi lelaki yang kini meninggalkan mereka.

***

Lagi-lagi Gendhis pulang disambut dengan kesunyian. Namun, ia tidak boleh larut dalam kesedihannya. Gadis itu lalu menghubungi semua teman-temannya untuk mencari kasus pengganti Mbah Roto.

Kai
Ndhis, aku ada tiga pasien. Kamu coba hubungi. Tapi mending dua yang di daerah Turi deh. Yang di Kali Code itu rewel banget.

Gendhis merasa lega. Seraphim Kartika[1], kakak kelas yang judes itu ternyata sangat baik dan mau membantunya. Setidaknya malam ini ia bisa tidur dengan sedikit tenang.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang