Makan siang Minggu terasa lezat. Menu lele penyet yang disajikan Gendhis dengan tumis kangkung, lalap serta sambal, cukup mengisi perut sepasang pengantin baru itu. Mereka melahap makan dengan bercerita banyak hal yang terlewatkan.
"Ndhis, besok aku janjian buat konsultasi. Kamu ikut ya?" kata Lud di akhir sesi makan siang mereka.
"Mas, semangat ya. Aku nggak tahu ternyata tekanan dari keluar karena tuntutan agar menikah cepat dan mempunyai anak membuat Mas stress berat. Besok lagi kalau ada apa-apa cerita ya?" Tangan Gendhis masih sibuk memotong pepaya sebagai pencuci mulut mereka.
"Iya. Dari dulu, sejak aku keluar dari seminari, aku udah tertekan. Tapi kenapa imbasnya malah nggak bisa bangun?" Lud mendesah kencang.
Gendhis terkikik. "Kupikir aku nggak cukup menggoda buat Mas Lud. Jadinya Mas nggak tergiur buat ena-ena."
"Sebelum nikah aku tergiur banget. Apalagi habis kamu sosor kaya soang. Rasanya kaya nggigit kue mochi, kenyel-kenyel gimana gitu."
Wajah Gendhis memerah. Ia malu mengingat betapa dulu ia begitu agresif. "Ih, apaan sih Mas?"
Bibir Gendhis mengerucut. Melihat ekspresi malu-malu Gendhis yang sebenarnya mau, membuat Lud mengulum senyum. Haruskah dia mencobanya. Dokter andrologi yang mengobatinya menyatakan bahwa disfungsi ereksi itu terjadi karena faktor psikis. Selain pengobatan, mau tidak mau Lud dirujuk ke psikiater agar bisa membantu memanajemen stressnya. Dari hasil konsultasi pertama, psikiater meminta Lud bisa melakukan penyegaran. Namun, kencan yang ia rencanakan dadakan itu rupanya berakhir ricuh karena Lud salah bicara.
Lud menatap Gendhis yang kini sedang sibuk mencuci piring. Gadis itu walau marah masih mau memasakkan makanan. Padahal selama ini Lud tidak pernah memperhatikan istrinya karena sibuk dengan skripsinya.
"Mas, aku mau tidur siang. Ngantuk banget karena semalam kurang tidur," kata Gendhis berjalan menuju ke kamar mereka.
Lud menyusul di belakang Gendhis. Begitu gadis itu berbaring, Lud ikut merebahkan tubuh di samping Gendhis dan memeluknya. "Ayo, tidur sama-sama. Kata dokter aku harus banyak istirahat biar belutnya bisa bangun."
Gendhis terkekeh. Bagi Gendhis, cukup dipeluk Lud, hatinya sudah nyaman. Feromon Lud mampu menjadi penenang batinnya.
***
Gendhis yang diskors tidak bisa mengikuti kuliah materi blok satu. Senin itu ia mencoba menemui alamat kedua yang ada di daerah Turi setelah mendapatkan alamat yang valid dari Kai. Lud berinisiatif mengantar karena tidak ada jadwal kuliah dan bimbingan. Suatu keuntungan bagi Gendhis karena ternyata Mbah Giyem sangat menyukai Lud. Apalagi ternyata Lud pintar membujuk Mbah Giyem untuk menjadi pasien para dosennya.
"Mbah nggak usah khawatir. Nanti Mbah bakal saya antar jemput ke rumah sakit.Tinggal duduk manis di mobil Mbah sampai di rumah sakit," kata Lud yang membuat Gendhis terenyuh. Ternyata Lud tidak tinggal diam saat tahu kesusahan Gendhis.
Mbah Giyem pun menyetujuinya dan saat itu juga wanita tua itu pergi bersama Lud dan Gendhis menuju ke kampus.
Sesampainya di kampus, Gendhis bergegas menuju ke bagian prostodonsia. Saat ia hendak memasuki ruang dosen, Lud menahan langkahnya.
"Ndhis, semangat ya!"
Senyum manis Lud bagaikan asupan semangat Gendhis. Gadis itu membalas dengan tarikan bibir lebar yang juga membuat lelaki itu berdebar.
"Tunggu kabar baikku ya."
Gendhis melangkah dengan mantap memasuki ruang dosen. Ia tahu ia salah, tetapi gadis itu ingin memperbaimu kesalahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis "Sang Jomlo Legend"
ChickLit"Ah, kamu ini suka yang gratisan mulu. Sekali-sekali pesen napa? Nglarisin punya temen pahalanya banyak. Kali habis itu dapat lepas status jomlo legend-mu." - Clary. "Clary, kayanya aku harus makan nasi rendangmu biar jodoh sama belud!!" Gendhis Ar...