Semester genap akan dimulai. Gendhis berusaha melupakan pikiran buruknya agar bisa fokus kuliah. Semester ini gadis manis itu akan mempelajari tema Penunjang Keterampilan
Klinik I, Kesehatan Masyarakat , Etika dan metode riset dengan beban 22 sks.Selain kuliah, ada praktikum dan skill lab yang harus ia jalani. Tentu saja Gendhis tidak ingin terganggu saat menjalani perkuliahannya dan berimbas pada indeks prestasi yang selalu berada di atas angka 3 koma. Gadis itu sudah berjanji pada Papa Dimas kuliahnya tidak akan terganggu setelah menikah.
Pagi ini menjelang sarapan, Mami Bella menelepon Gendhis. "Hallo, mantu Mami. Apa kabar?"
"Kabar baik, Mi? Keluarga Magelang gimana?"
"Sehat." Suara Mami Bella terdengar renyah. "Gimana udah ada kabar baik?"
Gendhis tersipu. Bukan malu tapi perasaannya pilu. Bagaimana mau menghadiahkan cucu kalau Lud belum mencumbu?
"Belum, Mi," ujar Gendhis miris.
"Udah, nggak papa. Ehm, nanti Mami kirim ramuan kesuburan dan vitalitas lagi ya. Makan banyak sayur dan buah. Kurangi jeroan dan santan. Ngerti?"
"I … iya, Mi."
Gendhis menoleh ke arah kotak warna merah yang dikirim mertuanya. Hampir setiap hari, Gendhis membuatkan. Tapi hanya ia yang meminum saja. Lud bahkan tidak pernah menjamah minuman yang ia buat dan akhirnya berakhir dengan membuangnya.
Setelah telepon mertuanya, kegelisahan Gendhis semakin menjadi. Saat sarapan dengan makanan sederhana yang ia masak—tumis buncis dengan cumi tepung dan tahu goreng—wajah kusutnya tak bisa ia sembunyikan.
Lud yang melihat Gendhis yang tak bersemangat itu, hanya mengernyit. Istri barunya itu sering berwajah masam dan kusut.
"Kamu kenapa?" tanya Lud sambil mengambil cumi dengan garpunya.
Gendhis melirik Lud. Ia mendesah. "Mas … sayang aku?"
Kerutan di dahi Lud terlihat jelas. "Harus seperti apa ngomongnya? Masa iya jawab pertanyaan yang sama tiap hari."
"Dan, jawaban Mas Lud kaya gini terus! Nggak ada jawaban lain apa?" sergah Gendhis. Ia heran karena Lud selalu berkilah. Gadis itu ingin mendengar Lud mengatakan bahwa lelaki itu menyayangi dan mencintainya sekali lagi.
Namun, kalau tidak menjawab 'ehm', 'kamu tahu jawabannya', atau 'iya', tak ada jawaban tegas yang terlontar dari bibir merah Lud.
"Kamu nanti pulang jam berapa, Ndhis?" tanya Lud yang dianggap Gendhis mengalihan topik percakapan.
"Pulang sore. Kenapa? Nggak biasanya nanya."
Lud terdiam. Ia memilih mengunyah makanannya. "Oya, Mas. Mami barusan telepon. Beliau nanya apa udah ada kabar baik?"
"Kabar baik?" tanya Lud sambil menggigit kerupuk udang.
"Ehm, kabar kehamilanku …."
Sontak perkataan Gendhis, membuat makanan yang sedianya akan masuk ke pencernaan mampir dulu ke saluran napas. Lud terbatuk. Tangannya meraih gelas untuk melancarkan makanan yang hendak ditelan.
Gendhis menarik kursi mendekat ke arah Lud yang ada di meja sisi kanannya. Dia memukul punggung suaminya pelan.
Batin Gendhis teriris. Kenapa Lud seolah kaget mendengar perkataannya? Bukankah mereka menikah salah satu tujuannya untuk melestarikan keturunan?
Melihat wajah kecewa Gendhis, Lud merasa bersalah. Ia menegakkan tubuh, menatap mata yang kelam itu.
"Ndhis, aku … aku …."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gendhis "Sang Jomlo Legend"
ChickLit"Ah, kamu ini suka yang gratisan mulu. Sekali-sekali pesen napa? Nglarisin punya temen pahalanya banyak. Kali habis itu dapat lepas status jomlo legend-mu." - Clary. "Clary, kayanya aku harus makan nasi rendangmu biar jodoh sama belud!!" Gendhis Ar...