33. Bergelut Dengan Kalut

759 143 56
                                    

Gendhis hanya bisa menunduk saat Dokter Miranda memarahinya. Ia meremas paha, berusaha keras meredam emosi yang bergejolak di dada. Ada rasa cemas, takut, menyesal dan segenap perasaan lain.

"Dik, kasus ini akan saya laporkan ke dokter Moses. Biar beliau yang memberi keputusan."

Langkah Dokter Miranda yang menyentak lantai menggaung di seluruh ruang tunggu. Sekuat tenaga Gendhis menghela napas, untuk menetralisir perasaan tak nyamannya.

Mbah Roto yang tidak bisa mendengar jelas, paham telah terjadi sesuatu antara dokternya dengan Gendhis.

"Nduk, sabar ya. Orang sabar disayang Tuhan." Tepukan Mbah Roto di punggungnya meloloskan bulir bening dari kelopak mata Gendhis. Punggung Gendhis bergetar kuat. Ia takut kuliahnya akan gagal karena kecerobohannya.

***
Pagi ini Lud pulang setelah ia menginap di kos sahabatnya. Badannya lunglai karena ia semalam tidur berdua di ranjang sempit bersama Jati. Setelah melepas sepatu di pintu depan, Lud memandang berkeliling ruangan, dan menyimpulkan Gendhis pasti sudah berangkat. Ia bergegas ke dapur kecil untuk mengambil air minum. Saat melihat tumpukan obat kesuburan itu, kepala Lud menjadi pening. 

Entah kenapa akhir-akhir ini ia merasa tertekan. Ada banyak sekali yang ia pikirkan di dalam kepala. Semakin dipikir semakin kusut. Belum masalah yang lain tuntas, datang masalah baru. Gendhis berciuman dengan Albert.

Lud mengepalkan tangan kencang pada gagang pintu kulkas. Bayangan ciuman itu, serta pertengkaran hebatnya dengan Gendhis membuat hidup bahagia yang ia bayangkan setelah pernikahan sirna. Seandainya saja ia tidak berboncengan bersama Jati, ia yakin akan turun untuk menghajar Albert. Namun, ia tidak ingin semua orang menjadi tahu Gendhis berselingkuh bila ada keributan di depan apartemen. Ia memilih berlalu, sambil menatap  Albert yang tersenyum miring penuh kemenangan dari kaca spion.

Lud merasa salah dengan dirinya. Bagaimana bisa Gendhis menuduhnya Gay? Tapi memang orang-orang di sekitarnya selalu mengecap seperti itu. Lud memang dekat dengan Jati, tapi tidak sampai terlibat perasaan aneh. Bagi Lud, Jati adalah sahabat terbaiknya karena selalu menjadi teman berbagi rasa dan rahasia.

***
Sore itu Gendhis pulang dalam keadaan hati yang hancur. Permasalahan salah cabut itu dalam beberapa detik saja bisa tersebar luas di seluruh sudut fakultas. Gadis itu berharap saat pulang ia akan bertemu dengan Lud. Tapi, ternyata, ruangan kosong yang menyambutnya.

Gendhis tak bisa lagi menangis. Walau sesak dadanya, air matanya sudah kering karena terkuras di kampus tadi. Padahal ia ingjn bercerita pada Lud tentang apa yang ia alami.

Gendhis hanya bisa berjalan gontai. Ia duduk di sofa di depan televisi. Otaknya kusut. Pikirannya pun semrawut. 

Kenapa Lud harus pergi saat Gendhis menantang untuk membuktikan bahwa ia bukan gay? Kenapa Lud menghindar seolah tidak menginginkannya? Sekarang, saat Gendhis mengalami masalah pelik, Lud tak ada di sampingnya. Hidup cinta gadis itu tak seindah anggan. Kini cita-citanya pun terancam tinggal impian.

Alam seolah tahu suasana hati Gendhis yang mendung. Di luar hujan deras mengguyur. Pekikan guntur seolah ingin menyuarakan kepenatan gadis muda itu. Rintihan tertahan Gendhis teredam oleh gelegar guruh yang bersahutan. 

Isakan Gendhis masih tersisa. Ia merasa kualat. Inilah dosa akibat perselingkuhannya. Ya. Ini balasan karena ia mengkhianati janji sucinya, karena dicium oleh Albert.

Merogoh gawainya, Gendhis mencoba menelepon Lud. Beberapa kali sambungan barulah suara Lud terdengar. 

Bukannya menyapa renyah, tangis Gendhis justru pecah. Seolah Lud ada di sampingnya, Gendhis menangis sendiri ditemani suara Lud yang memanggil dirinya dengan kalut.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang