38. Big Cupid

826 145 36
                                    

Setelah menelepon Albert untuk membatalkan mengurus Ducky Duck, Gendhis mengeringkan rambut. Sebelumnya ia mengulas skin care di wajah eksotisnya. Setidaknya walaupun berkulit cokelat, ia ingin kulitnya sehat dan lembab. Toner, serum antiaging, pelembab dan sun screen menjadi ritualnya setelah mandi. 

Berhubung hari itu hari Minggu ia mengoleskan sedikit riasan dengan bb cushion warna natural ditambah sapuan sedikit bedak tabur. Ia juga menggambar garis di tepi mata untuk mempertegas mata beloknya. Pulasan eye shadow, maskara, dan blush on membuat wajahnya terlihat cerah.

Lud masuk dengan berbalut handuk. Perut kotak-kotak itu selalu bisa membuat Gendhis berdecak kagum. Mereka bersitatap malu-malu, seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta.

Sementara Lud terpesona dengan wajah manis yang bisa membuat jantungnya bekerja ekstra keras.

"Ke gereja?" tanya Lud.

"Iya. Mumpung jam segini. Kita ke gereja Kota Baru ya. Aku udah siapin bajunya. Biar senada sama dressku," ujar Gendhis. "Oya, habis itu ambil Ducky Duck. Aku nggak enak ngerepotin Abe."

Lud mendengkus. "Jadi, semalam kamu kemana? Jangan bilang sama Abe?" Mata Lud memincing. 

Gendhis pun menceritakan sekilas apa yang terjadi. Mulai saat ia dimintai dokter Miranda, ketemu Mbah Roto, salah cabut, panggilan dosen sampai ia diskors dan ide Clary untuk mencari kasus pengganti sehingga Ducky Ducknya ngambek.

Sambil mengenakan baju, telinga Lud menangkap apa yang diucapkan Gendhis. Ia merutuki dirinya sendiri karena tak peka dengan sekelilingnya. Bahkan ia tak tahu bahwa istrinya mengalami masa sulit sama seperti dirinya.

"Sorry, Ndhis." Lud menghentikan aktivitasnya menggulung lengan kemeja biru keabu-abuan.

Gendhis bangkit. Ia menghampiri Lud dan membantu suaminya menggulung lengan kemeja. Sejak menjadi istri Lud, gadis itu senang mendandani suaminya seperti boneka Ken yang hidup. 

"Nggak apa-apa. Aku juga bingung. Mas Lud waktu itu cuek karena memendam semua sendiri." Mata Gendhis masih tertuju pada gerakan tangan yang kontras dengan kulit kuning Lud.

"Ndhis, kecerobohanmu harus kamu kurangi pelan-pelan. Kamu memilih bersekolah di bidang yang ada hubungannya dengan nyawa manusia," ujar Lud pelan. 

Suara berat yang menabuh gendang telinga Gendhis itu mampu menggetarkan kesadarannya. Selama ini ia memang ceroboh dan bersikap cuek. Emosi yang labil membuat semua berantakan.

Gendhis mendongak kemudian mengangguk sambil tersenyum. Bibir yang melengkung itu membuat manis wajah Gendhis. Seperti gulali yang ia Lud cecap.. 

Pantas saja Albert tergoda mencium Gendhis. Siapa yang tidak terpesona dengan senyum manis yang menggetarkan hati. Tawa renyah Gendhis dengan banyolan aneh dan sifatnya yang apa adanya, mendatangkan kehangatan bagi siapa pun yang dekat dengannya.

"Ndhis, kamu tahu … aku itu pengin cepet lulus biar bisa jadi pengacara. Nasib punya istri ceroboh yang jadi dokter gigi, makanya aku bersiap biar bisa jadi pembela kamu."

Seketika wajah Gendhis muram. Ia mencubit perut berotot Lud membuat lelaki itu terpekik. "Ndhis, lepas!"

"Motivasi yang mulia sekali, ya? Bukannya mendoakan kecerobohanku hilang malah berharap aku melakukan kecerobohan! Nyebelin!" 

Lud melepas cubitan mematikan Gendhis. Sambil meringis kesakitan, ia terkekeh mendapati reaksi Gendhis. Rupanya sang istri ingin terbebas dari kecerobohannya.

"Bercanda kali, Ndhis. Maksudku supaya aku bisa kerja dan nantinya bisa ngasih makan istri dan anak-anakku."

Mata bulat itu mengerjap. Ia mendongak menatap Lud. "Anak?"

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang