32. Kacau

729 128 57
                                    

Lud terengah dan rubuh di atas badan Jati yang bertelanjang dada. Punggung dan leher Jati sudah penuh jejak kemerahan hasil perbuatan Lud. Peluh Lud bercucuran deras.

"Jati, aku udah lakuin yang kamu minta. Sekarang penuhin janji kamu."

"Iya. Kita tidur bentar dulu ya? Aku ngantuk. Kamu juga lemas gitu."

Lud hanya mengangguk. Saking lemas dan ngantuknya ia tertidur begitu saja di atas punggung Jati.

Dua jam kemudian, Jati terbangun. Badan lelaki itu terasa lemas. Apa yang dibuat Lud padanya mampu membawa kenikmatan tersendiri. Dari pada membayar orang lain, lebih baik ia mendatangi Lud. Sebenarnya, Jati Ingin melanjutkan tidur lagi, tapi ia harus memenuhi janjinya pada Lud.

"Bangun, Lud! Bahaya kalau kepergok Ndhis." Jati menggeser badan yang ditindih Lud separuh. Ia meraih kaus dan memakainya cepat.

Lud mengerang. 

"Lud, kamu nggak papa, nggak cerita keadaanmu ke Ndhis?" tanya Jati.

Lud menggeleng. "Aku malu, Jat. Gimana aku bisa cerita keadaanku? Yang tahu aku gini cuma kamu."

Jati mendesah sambil menatap Lud yang terlihat  masih kelelahan dan mengantuk. 

"Ya udah sono siap-siap." Jati menepuk punggung Lud. "Lud, besok lagi ya. Enak banget servismu!"

Dengan menyeringai, Jati meloncat turun begitu saja, diikuti pandangan Lud yang masih disergap kantuk. Namun, lelaki itu tetap bangun. Ia duduk sejenak di tepi ranjang yang kini kusut akibat ulahnya dengan Jati. Badannya terasa ngilu dan nyeri karena terlalu bersemangat mengerjai Jati. 

Lud melihat ke arah jam dinding. Waktu sudah pukul 4 sore lewat, namun sepertinya belum ada tanda-tanda Gendhis pulang. Lud pun bangkit dan bergegas keluar dari kamar. 

Setengah jam kemudian Lud dan Jati sudah turun ke parkiran. Tadi pagi Jati datang ke apartemen dengan ojek online karena motornya sedang dipinjam abangnya, sehingga akhirnya mereka pergi berdua berboncengan.

"Lud, Ndhis kalau bonceng kamu mepet gini rasanya gimana?" Jati memperagakan gaya yang berlebihan dengan menempelkan badannya ke punggung Lud. Tubuh mereka menempel seperti lintah yang susah lepas saat menghisap darah. 

"Jat, mundur napa?" protes Lud.

"Kenapa emang? Kamu kan udah dikenal gay, Lud. Anak-anak pada kaget tahu, pas dapat undangan nikahmu." Jati kali ini melingkarkan lengannya dan mengelus perut datar Lud.

Namun, sentuhan Jati itu terasa hanya angin lalu, saat mata Lud melihat pemandangan Gendhis dicium oleh sahabat istrinya sendiri.

***

Gendhis masuk ke apartemen dengan kondisi tak nyaman. Ia benar-benar telah dimanfaatkan setan sehingga Abe dengan berani menciumnya. Walau kecupan itu di pipi, tetap saja Gendhis merasa seperti pendosa. Layaknya seorang istri yang berselingkuh.

Gendhis tahu Lud tak ada di rumah. Ruangan gelap dan sepi saat Gendhis masuk. Begitu lampu menyala, ruang tengah sudah lebih tertata. Dengan tangan bergetar, Gendhis membuka kamar mereka. Sprei bunga-bunga itu terlihat berantakan. Hati kecil Gendhis merintih bertanya-tanya apa yang suaminya lakukan di dalam kamar bersama sahabat laki-lakinya.

Air mata yang ditahan seharian kini gugur juga. Gendhis terduduk di bibir ranjang. Isakannya lolos seiring bulir bening yang membasahi pipi. Berulang kali Gendhis menepuk dadanya.

"Mas Lud jahat! Kata Cla mending gay daripada selingkuh. Trus yang tadi apa? Udah gay, selingkuh pula! Parahnya aku ditikung cowok!" rutuk Gendhis. 

Sesorean Gendhis menguras air matanya, hingga ia kelelahan. Tak sadar, gadis itu tertidur masih dengan baju yang sedari pagi ia kenakan. Ketika ia membuka mata, jarum jam menunjuk di angka delapan.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang