Penurunan Ketegangan

139 23 1
                                    

Aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Tampak sebagian besar SPE-1 tertidur dalam berbagai posisi: berbaring, terduduk, bahkan bergulung; Kale misalnya. “Hari yang melelahkan, benar?” Ken mendampingiku duduk di tengah ruangan. Aku tidak dapat bersandar ataupun berbaring. Seluruh tubuhku membiru, bahkan aku telah memantapkan niat untuk tidak melihat rupaku di depan cermin untuk beberapa saat setelah semua ini.

“Kau benar.”

Ken tersenyum, “Kau boleh meletakkan kepalamu di bahuku jika mengantuk.”

“Dan terjungkal ke belakang saat tertidur nanti?” Kami tertawa kecil, “Aku akan tidur nanti saat rasa sakitnya berkurang.” Walaupun aku tidak tahu berapa hari tidak akan tidur jika menuruti kemauan nyeri ini. Ken membalas dengan anggukan.

“Kau terluka sangat parah.” Ken menatapku sedetik kemudian dan desahan muncul dari bibirnya, “Rupamu sangat...” Ken memutarkan telunjuknya di depan wajahku, kesulitan memilih kata. “Hancur?” Sepertinya itu kata yang tepat karena lelaki di sampingku langsung berekspresi prihatin.

“Mereka juga,” Ken kini memandang SPE-1 yang tertidur. Lyn ternyata mendapat sebuah goresan di betisnya. Gadis itu sepertinya benar-benar tidak akan bisa bertahan hidup sendirian. Bisa-bisa suatu saat nanti Ia kehabisan darah tanpa sempat mengetahui bahwa darah mengalir keluar dari tubuhnya. Ia harus melihat luka di tubuhnya untuk menyadari bahwa Ia terluka.

El duduk di sudut ruangan dalam diam. Pria itu juga tidak tidur, bukan, El mencoba untuk tidur tapi sepertinya lukanya terasa menyengat sehingga Ia terbangun terus-menerus. Kale mendapat satu lebam pukulan dan masih dapat tidur dengan santai. Ve meletakkan kepalanya di pangkuan Val yang tertidur dalam posisi duduk. Ve merasa sangat pusing, katanya lebih parah dari biasa.

Zac berada tidak jauh dari sudut ruangan tempat El duduk. Lelaki itu bersandar dan menatap tiga tabung itu sedari tadi. Di sudut lain yang juga tak jauh dari Zac, Nic tertidur dengan bersandar dan melipat tangannya. Lelaki itu menawarkan bahunya padaku tadi, namun aku mengatakan akan tidur nanti.

Nic tampak sangat khawatir dan aku tidak nyaman karena Ia terus mencemaskanku. Seharusnya Ia memperhatikan dirinya sendiri. Lelaki itu mendapat sebuah goresan di lengan kanan bawahnya, tetapi memilih membilas lukaku dengan air sungai jernih yang masih sempat Ia ambil meskipun kami terburu-buru masuk ke markas ini. Bahkan Ia sempat menemukan botol untuk menampung airnya.

Perhatian kecil yang manis.

“Kenapa kau tersenyum?” Ken mengikuti arah pandangku, “Ah, kau dan burung cintamu.”

Aku memukulnya kecil, nadanya mengejek dan menggoda di saat bersamaan. Ken membuka pembicaraan lainnya, “Aku menemukan hal menarik tadi.”

“Apa itu?”

“Kau ingat aku masuk ke asrama biru untuk membantu kalian, benar?” Aku mengangguk, “Kau tidak bertanya kenapa aku bisa menemukan keberadaan kalian di tempat yang belum pernah kudatangi sebelumnya?”

Aku mengangkat bahuku, “Entah, mungkin makhluk gaib penunggu asramaku memberitahumu.” jawabku asal. Ken menjentikkan jarinya, “Kau benar.”

“Apa?”

“Aku mengerti kenapa kita dikelompokkan seperti ini. Asramamu sepertinya adalah gedung asrama tertua diantara tiga asrama. Banyak sekali yang dapat 'kulihat' disana,” Ken tampak berpikir, “sekitar sepuluh kali lebih banyak dari 'makhluk' asramaku, mungkin?”

“Sebanyak itu?” Ken mengangguk, “Anehnya, mereka semua marah. Tidak semuanya, tetapi hampir semuanya.”

Ken menjelaskan, “Para 'makhluk' di asrama biru seperti mengucapkan banyak hal dan bertingkah seakan mereka butuh bantuan. Biasanya yang seperti itu disebabkan karena mereka meninggal secara paksa, tidak adil, tidak layak, atau belum menyelesaikan tugas di dunia.”

The GeneticsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang