"Oh, mulai memambangkang, ya? Janji kamu mana Hana?" Herlina yang berkhimar toska panjang itu menatap mata Hana lekat. Hana menunduk, memilin ujung khimar cokelat yang ia pakai, pemberian Miko tadi.
Herlina menarik paksa tangan Hana mendekat ke tubuhnya. Hana menangis, pergelangan tangannya sakit akibat ditarik paksa oleh Herlina. Hana menatap Adam yang terpaku sambil memakai payung agar ia tak kehujahan ketika Hana disuruh masuk ke mobil oleh Herlina.
Hana menangis sejadi-jadinya, terdengar lebay. Ya tapi itulah Hana. Apalagi ketika Herlina, Bundanya itu menatap mata yang selama ini membuat Hana merasa nyaman dengan tatapan tajam. Adam tersenyum, memasang wajah sesopan mungkin kepada Herlina.
"Jauhi anak saya, Adam! Jangan dekat-dekat dengan Hana! Tolong, jauhi dia." Herlina menepuk bahu Adam, kemudian membuka pintu mobil yang ada di sebelah sopir. Hana yang ada di kursi belakang menangis, memukul keras kaca jendela, menghentakkan kakinya kuat ke kursi depan.
Adam menatap getir Hana yang menangis histeris di dalam mobil seiringan dengan mobil yang berjalan. Hana menatap Adam dari jendela, dadany sesak sangat sesak. Atas semua perilaku Herlina kepada Adam.
"Hana, siapa yang mendekatimu? Aku? Tentu saja bukan, entahlah ini rumit." Adam berjalan di trotoar, menembus hujan dengan payung hitam yang kini ia pakai sendirian, tidak ada Hana di sampingnya.
•••
Hana menutup pintu mobil dengan keras, matanya merah sembab, bibir bawahnya bengkak karena sedari tadi Hana menggigitnya, melampiaskan segala emosi yang membelenggu pada tubuh Hana.
"Hana, masuk!" Herlina menyuruh Hana masuk ke dalam rumah, ketika Herlina mendapati Hana yang tengah duduk di lantai, menangis sambil memeluk tubuhnya.
Hana tak mengindahkan kata Herlina, ia masih setia duduk di lantai. Hana tidak tau, apa yang harus ia lakukan agar air matanya ini tak keluar. Sudah beberapa kali Hana berusaha menyekanya, tadi tidak ... itu semua sia-sia.
"Hana, jangan kayak anak kecil. Bunda bilang masuk, ya masuk! Jangan membangkang Bunda, Hana," cetus Herlina menarik pergelangan tangan Hana untuk berdiri.
Herlina menatap setiap inci wajah anak satu-satunya ini, ia menghela napas pelan. Tangan Herlina bergerak mengusap air mata Hana, menarik Hana dalam pelukannya walau pun dari hati kecil Herlina, ia sangat kecewa kepada Hana yang masih saja dekat dengam Adam.
"Bunda egois," cicit Hana di sela-sela tangisannya, tangan Hana masih setia memegang pundak Herlina, tempat ternyaman dan terhangat apabila ia terpuruk.
"Hana ... dengerin Bunda. Bunda ngelakuin semua ini demi kebaikan kamu, demi masa depan kamu. Jangan jadikan janjinya kamu ke Bunda sebagai bahan candaan." Herlina melepas pelukan, lalu mengusap teratur bahu Hana yang bergetar.
"Bunda, Hana gak bisa jauhin Kak Adam." Hana mengusap air matanya kasar, berdiri setegak-tegaknya sambil menghela napas berat.
"Kak Adam itu matahari, sedangkan Hana itu bumi. Bumi membutuhkan matahari bukan? Begitupula dengan Hana, Hana sangat membutuhkan Kak Adam," tutur Hana, menyunggingkan senyuman manis setelah mengucapkan kata-kata itu.
Hati Herlin bercampur aduk, melihat Hana yang sangat terobsesi dengan Adam. Melihat nilai-nilai pelajaran Hana yang turun drastis ketika Hana terobsesi oleh Adam, sejak awal masuk SMA. Herlina memutuskan untuk menyuruh Hana menjauhi Adam sejak semester satu kelas sepuluh. Hana menyetujinya, bahkan Hana sampai berjanji di hadapan Herlina. Tapi, Hana membangkang tanpa sepengetahuan Herlina. Hana tetap mendekati Adam, tak peduli dengan nilainya yang turun drastis. Kejadian Herlina yang bertemu dengan Hana dan Adam di depan gerbang tadi, adalah moment pertama Hana terciduk dekat dengan Adam sepanjang perjanjiannya dengan Herlina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me to Jannah (END)
Acak📒Spiritual - Romance "Tapi, seenggaknya luka-luka kecil ini, jadi saksi bisu perjuangan Hana buat ngemilikin Kak Adam seutuhnya." Hana memasang senyuman manis, menatap Desi yang wajahnya sinis itu. "Han, dengerin Desi dulu. Kak Adam itu enggak akan...