📒 46. Ayahmu, Baik-Baik Saja

455 40 1
                                    

Suara sirine mobil polisi menjadi pusat pandangan semua orang yang menyaksikan insiden ini, pelaku yang menabrak segera diamankan oleh polisi. Hana dengan tubuh yang bergetar, bangkit dari duduknya di aspal lalu berlari mengejar laki-laki tadi yang kini di bawa dengan brangkar oleh petugas ambulance.

Dengan baju yang penuh darah, Hana masuk ke dalam mobil ambulance menemani sosok lelaki penyabarnya yang berlumuran darah sekarang. Kopyah putih yang dikenakannya pun, sudah berwarna merah, berlumuran darah juga baju kokonya. Hana tidak peduli dengan darah yang berbau anyir itu, ia tetap memeluk Adam dengan tangisan.

"Bertahanlah, jangan tinggalkan Hana." Hana memegang tangan kiri Adam yang kini sangatlah dingin, Hana juga tidak berhenti merapalkan doa terbaik untuk Adam.

•••

Hana tidak memperdulikan penampilannya yang kini menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang di depan koridor UGD. Dengan gamis juga kerudung Hana yang penuh dengan darah, tidak membuat Hana malu. Hana sekarang sedang ada di koridor UGD, berdiri sambil menangis di sela-sela dokter juga perawat yang sedang melakukan tindakan untuk Adam.

Hana sontam menoleh, ketika Fadilah dan Rafa hadir di sampingnya. Fadilah langsung menarik tubuh Hana ke dalam pelukannya, Fadilah menangis di pundak Hana begitu juga Hana. Fadilah melepas pelukannya, mengusap air mata Hana pelan lalu mengelus kedua lengan Hana teratur.

"Ganti gamis dulu, ya." Fadilah menautkan tangannya dengan tangan Hana yang kini sangat dingin. "Hana mau di sini, Ummah. Hana mau temani suami Hana." Fadilah mengangguk, lalu tersenyum tipis kepada Hana dengan mata yang berkaca-kaca.

"Di sini ada Abbah, dia akan jaga Adam. Kamu harus ganti gamis, sayang." Hana mengangguk lemah, lalu berjalan gontai dengan Fadilah menuju kamar mandi.

•••

Hana menatap pantulan tubuhnya di cermin kamar mandi, ia mencoba tersenyum dengan matanya yang berkaca-kaca itu. Hana kini sudah ganti gamis, kerudung juga jadi, sekarang Hana akan keluar dari kamar mandi. Hana membalikkkan badannya lagi, berjalan menuju wastafel mengambil benda yang ketinggalan. Hana memasukkan benda tersebut ke dalam gamisnya, lalu mengusap kecil perutnya.

"Ayahmu tidak akan kenapa-kenapa. Percaya." Hana mengusap perutnya yang di sana terdapat janin yang masih pagi tadi Hana sadar jika ia sedang hamil. Hana tidak sempat memberitahukan kepada Adam, karena terburu-buru ke toko. Rencana, Hana akan memberitahu kepada Adam di toko. Tapi, kenapa ini terjadi? Apakah Ini yang dinamakan garis takdir? Entah.

"Ummah?" Hana duduk di samping Fadilah yang sedang menangis menatap lurus ke depan itu. Hana tidak tega, melihat Fadilah menangis. Hana segera memeluk Fadilah, lalu melepasnya.

"Putra Ummah akan baik-baik saja, kan? Dia tidak akan meninggalkan kita, bukan?" Hana menggingit bibir bawahnya, agar tidak menangis mendengar ucapan Fadilah.

"Putra Ummah akan baik-baik saja," kata Hana. Menyembunyikan segala kekhawatirannya dengan tersenyum simpul, menguatkan Fadilah.

"Adam kritis." Hana yang baru saja memasang tatapan lurus ke depan, langsung menoleh. Kaget, dengan apa yang diucapkan oleh Fadilah.

Hana segera berlari ke ruangan UGD, tepat dengan Adam yang dibawa ke ruang ICU untuk menjalani perawatan & pengobatan sampai Adam pulih, jika Allah berkehendak. Adam dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya itu hanya bisa memejamkan mata, di atas brangkar yang kini bergerak ke ruang ICU.

Hana berdiri kaku, melihat apa yang baru saja ia lihat. Hana tidak bisa berjalan, kakinya terasa lemas sekarang. Hana mengahapus air matanya cepat, segera berlari mengikuti brangkar yang ditiduri Adam yang menuju pintu ICU yang kini sudah dibuka oleh suster untuk brangkar yang ditiduri Adam.

Ketika tangan kanan Hana sudah sampaj menyentuh ujung brangkar yang terdapat ada di sana, brangkar langsung dibawa masuk dan pintu ditutup oleh suster. Hana menggedor-gedor pintu sambil menangis histeris. Fadilah langsung berlari dan mendekap tubuh lemas Hana itu.

"Hana mau temani Kak Adam di dalam Ummah. Hana mau kuatin Kak Adam di dalam, supaya dia tidak pergi." Hana dengan refleks mengucapkan hal tersebut. Satu detik kemudian, tubuh Hana langsung lemas. Fadilah yang menyadari itu, langsung mengajak Hana duduk di kursi depan ruangan ICU. Hana meletakkan kepalanya di bahu Fadilah, kemudian Fadilah mengusap puncak kepala Hana.

•••

Hana membuka pintu ICU dengan sangat pelan, ia menutup pintu tersebut sambil mengusap air matanya. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Hana melihat sosok Adam yang selalu tersenyum dan periang kepadanya, kini hanya diam memejamkan mata di brangkar dengan pakaikan pasien yang dikenakannya juga selimut putih yang menutupi setegah dari badannya.

Hana menatap alat pendeteksi detak jantung yang letaknya tidak jauh dari Adam dengan getir, lalu beralih menatap wajah Adam yang pucat pasi itu dengan memegang tangannya, lalu menciumnya. Hana membenarkam selimut yang dikenakan Adam, lalu mencium setiap inci wajah Adam kecuali bibir.

"Ayo, buku mata Kakak. Hana ada hadiah yang paling Kakak tunggu selama ini. Hana hamil, Kak." Hana memasang senyuman girangnya lalu mencium punggung tangan Adam dengan air mata yang keluar.

"Masih banyak yang harus Kakak selesaikan. Kakak masih ada tanggungan buat besarkan anak yang ada di kandungan Hana ini. Kita besarin anak kita sama-sama, ya. Jangan tinggalkan Hana." Hana menaruh pipinya di telapak tangan Adam lalu mencoba tersenyum.

Hana mengusap rambut hitam Adam dengan penuh kasih sayang, masih berharap jika Adam kini membuka matanya. Hana menatap tubuhnya yang kini mengenakan pakaian medis, saatnya Hana keluar dari ruangan karena Rafa akan masuk. Di ruangan ICU ini, diperkenankan satu orang untuk masuk.

•••

"Masih gak nyangka gue," lirih Raga sambil berjalan di koridor menuju ICU bersama dengan Gibran, rekan Raga dalam mengelola toko bunga Hana dan Adam.

"Gue juga. Terakhir, Adam pamitan sama gue ke masjid dulu, mau adzan katanya pas gue sama Adam itu catat data karyawan. Ya udah, gue iyain dulu. Dilanjutin nanti, abis sholat. Ini, belum adzan si Adamnya, Ga. Udah kena insiden kayak gitu." Gibran ikut prihatin, nampak dari wajahnya yang lesuh itu.

"Apalagi, kata Ummah Fadilah Hana hamil," timpal Raga dengan menatap Gibran sebentar, lalu menatap lurus ke depan.

"Semoga aja gak terjadi apa-apa sama Adam." Raga duduk di kursi koridor ICU dengan Gibran yang mengangguk mantap. Hana yang baru saja keluar dari ruang ICU pun langsung menyapa Raga dan Gibran, ramah.

To Be Continued

Take Me to Jannah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang