Matahari pagi mulai menyingsing, awan putih mulai menyelimuti langit biru, rumput pinggir jalan mulai bergoyang, diterpa angin pagi yang berhawa dingin. Perlahan-lahan gemuruh alat transportasi mulai bergemuruh ketika bus panjang berwarna itu terpakir dengan aesthetic di terminal.
Nampak dari kejauhan, dua anak muda berjelenis kelamin beda tengah duduk di depan lapak dagangan orang. Mereka adalah Hana dan Raga, dengan koper besar yang ada di samping tubuh mereka masing-masing. Sesuai agenda, pagi ini juga mereka akan ke Jakarta. Semua uang transportasi untuk menuju Jakarta sudah dibayarkan oleh Herlina. Jadi, mereka hanya membawa uang jajan milik mereka sendiri.
Orang tua Raga pun ikut tak memberikan uang jajan, katanya supaya mandiri. Raga sempat kesal dengan keputusan ini, orang tua Raga hanya membayar kosan saja. Sebenarnya, orang tua Raga tidak mau apabila kuliahnya Raga dibayarkan oleh Herlina, tapi oleh Herlina dipaksa terus-menerus. Lagian, ya. Uang Herlina setiap harinya mengalir dengan deras dari butik miliknya yang kini sudah mempunyai sepuluh cabang di Jawa dan dua di luar negri. Kata Herlina, itu adalah imbalan terima kasih atas Kulsum yang mau mengambangkan butiknya ketika Herliba terpuruk oleh keadaan atas kematian suami dan anak pertamanya.
"Han, busnya mana sih?" tanya Raga sambil membenarkan duduknya pada bangku kayu yang dibilang sudah lapuk tersebut.
"Gak tau, lagian ya. Kenapa harus naik bus? Panas, ya gak, Ga?" Hana menimpali lalu mengayun-ayunkan kakinya.
Raga yang merasa bangku yang ia duduki bersama goyang-goyang, ia mengernyit, lalu berkata, "Hanaa. Jangan goyang-goyang. Bangkunya itu udah lapuk gini juga."
"Biarin, sih. Jatuh juga kagak sakit."
Hana semakin mengayun-ayunkan kakinya, Raga menatap ke tiang bangku, Raga mendapati bahwa tiang bangku sudah hampir patah. Raga langsung berdiri, membuka ponselnya, lalu memvidio aksi Hana yang sebentar lagi akan membawanya kepada rasa sakit.
Benar dugaan Raga. Bangku pun ambruk seketika. Pantat Hana mengenai kayu yang lapuk itu, lalu Hana segera berdiri. Membersihkan rok plisketnya yang kini kotor. Raga tertawa puas, sambil mengirim vidio Hana terjengkang tadi ke Adam.
"RAGA!"
Hana memekik keras memanggil nama Raga ketika Raga berlari masuk ke dalam bus sambil menyeret koper besarnya itu. Rambut Raga terterpa angin, jadilah poni rambut Raga tersibak ke belakang. Jidantnya terlihat lebar.
"Mas! Enak juga tuh jidat dibuat lapangan sepak bola!" celoteh kernet bus sambil memakai topinya.
"Saya gak masalah, Mas. Kalau diejekin jidat lebar, gini-gini saya ciptaannya Allah. Berani-beraninya ngejek saya, gak baik gitu, Mas. Dosa." Raga berdiri di pintu bus sambil menunjuk-nunjuk wajah Mas kernet supaya ketakutan. Dan, ya Mas itu ketakutan.
Mas tadi hanya kikuk, menunduk sambil menggaruk lehernya. Malu, itulah yang ada di pikirannya. Hana hanya menyengir kuda, lalu menggangguk pelan ketika Mas tadi menatap Hana takut. Hana segera masuk, lalu duduk di samping Raga yang tengah mendengarkan musik melalui earphone.
"Bijak juga, ya. Sepupu Hana." Itulah kata-kata Hana kepada Raga yang asyik mendengarkan musik. Hana hanya tersenyum tipis, kemudian memasang aerphone pula di kedua telinganya.
Suasana di bus begitu tenang, tidak riuh sama sekali. Hana menoleh, lalu terkekeh mendapati Raga tertidur pulas, dengan kepalanya yang Raga sandarkan di jendela bus. Hana kembali fokus ke depan, lalu merogoh sakunya. Mengambil handphone.
Hana sedikit terperanjat, kala Raga menaruh kepalanya ke bahu Hana. Hana hanya menghela napas, lalu mengelus singkat rambut Raga dengan tangan kirinya, tangan kanan Hana sibuk memenganggi handphone.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me to Jannah (END)
De Todo📒Spiritual - Romance "Tapi, seenggaknya luka-luka kecil ini, jadi saksi bisu perjuangan Hana buat ngemilikin Kak Adam seutuhnya." Hana memasang senyuman manis, menatap Desi yang wajahnya sinis itu. "Han, dengerin Desi dulu. Kak Adam itu enggak akan...