📒 28. Memori

250 36 0
                                    

Adam menginjakkan kakinya di sebuah halaman besar SMA Bagus Wilujeng Sasana, halaman yang sudah lama tidak ia kunjungi. Ini adalah sekolahan SMA Adam dan Ibrahim dulu, bangunannya nampak masih seperti yang dulu. Hanya cat temboknya saja yang diganti rupanya. Adam dan Ibrahim kini berjalan menyusuri koridor sekolahan, masih nampak seperti yang dulu, yaitu bersih dan rapi.

Terdengar suara riuh siswa dan siswi dari penjuru kelas. Entah sedang apa. Adam dan Ibrahim berjalan ke lantai dua, lalu ke ujung sana. Di sana adalah ruangan OSIS. Nampak dari jendela, anak-anak OSIS yang berjas biru tua itu tengan fokus berdiskusi. Adam menjadi rindu masa-masa putih abu-abunya sekarang.

"Lihat, Dam. Laki sama perempuan yang ada di samping proyektor yang lagi diskusi itu, sifatnya kayak kamu sama Hana dulu, ya." Ibrahim menunjuk dua anak OSIS itu. Adam tersenyum tipis, memanglah benar. Sifat mereka sama dengan Hana dan Adam ketika berdiskusi.

"Rindu sama Hana enggak, nih?"

"Ya iyalah, masih nanya."

Adam menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu menaiki tangga menuju lantai tiga. Sambil berbatin, bagaimana bisa Adam mengucapkan kata tersebut di hatinya dengan refleks. Ah, apakah ini yang dinamakan rindu masa lalu.

"Dam, tinggal aku dulu aja gak apa-apa. Masih mau ngobrol sama Wahid nih, aku." Adam mengangguk, meninggalkan Ibrahim berbicara dengan Wahid, anak kelas dua belas yang dulunya adalah rekan Ibrahim di ekskul bulu tangkis.

Adam berjalan di koridor, ekor matanya tas sengaja melirik ruang kelasnya dulu yang kini kosong. Mungkin, tidak digunakan. Ruangan kelas ini tetap bersih, bangku beserta meja tertata rapi. Adam duduk di bangku paling belakang, melihat isi ruangan kelas dengan senyuman tipis.

"Selamat pagi ... ini aku Hana, jangan marah ya Kak Adam, Hana hanya mau nyapa Kakak."

Adam menoleh ketika mendengar suara Hana. Adam terperanjat, lalu menghembuskan napas pelan. Ternyata, hal itu hanya ilusi Adam saja. Adam sekali-kali mengingat-ingat kapan Hana mengucapkan kata-kata tersebut.

"Empat tahun yang lalu," gumam Adam. Menyadari kapan Hana mengucapkan kata-kata tersebut.

"Adam masih ingat betul, kata-kata itu diucapin sama Hana pas pagi-pagi dan Adam lagi sendirian di kelas sambil nutup mata Adam dengan kedua tangan Hana. Adam nepis tangan Hana kasar ke meja."

Adam menjambak rambutnya prustasi. Memori empat tahun yang lalu berputar di otak Adam seperti kaset rusak. Sungguh, kepala Adam serasa ingin meledak dengan segala perkataan Hana. Ah, ada apa ini.

"Selamat pagi ... ini aku Hana, jangan marah ya Kak Adam, Hana hanya mau nyapa Kakak," bisik Hana tepat di telinga Adam, Hana tersenyum ketika Adam tak melakulan penolakan.

Desi menggigit bibir bawahnya, tengah menyiapkan hatinya untuk tegar apabila sehabis ini Adam akan marah habis-habisan kepada Hana. Desi tau, bahwa Adam adalah sosok yang agamis dan sangat menjaga batasannya.

Ruang kelas ini sunyi, suara jarum jam bergerak cepat. Hana menyunggingkan senyuman, ia berpikir bahwa Adam telah luluh dengannya. Tapi, tidak Hana. Ayo kuatkan hatimu, apa yang akan dilakukan Adam akan menyakiti hati kecilmu kali ini.

Adam menghela napas, membuang tangan Hana yang menutupi kedua matanya itu kasar. Kedua tangan Hana terdampar ke meja, Hana meringis menahan sakit di jari-jari tangannya. Kuku jari manis sebelah kanan Hana patah, sebagian jarinya mengeluarkan sedikit darah.

"Kak Adam, maafin Hana." Itulah kata-kata yang dilontarkan Hana ketika Adam keluar begitu saja dari kelas tanpa mempedulikan Hana.

Memori empat tahun yang lalu kini mendominasi pikiran Adam. Adam kini memejamkan matanya, mengepalkan kedua tangannya, masih duduk di bangku. Adam diam, biarkan memori empat tahun yang lalu mengalir di pikiran Adam.

Take Me to Jannah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang