"Sesungguhnya, apa pun itu harus ada bukti. Jangan pandai bersilat lidah."
"Heh? Kalian Ngapain?!"
Dua laki-laki paruh baya berpakaian resmi pegawai desa berkacak pinggang, satunya lagi membawa kayu berdiameter 22 cm yang sekali-kali ia pukulkan pelan lepada lengan tangannya yang terbilang atletis. Hana dan Adam terdiam, mendapati keberadaan dua laki-laki tadi yang sekarang tengah berjalan menuju letak mereka.
Adam menoleh, menyadari posisinya dengan Hana yang kini bisa terbilang sangat dekat, segera berdiri dengan sigap. Hana pun bangkit dari ranjang, langkah kakinya sedikit terjingkit-jingkit. Kaki Hana kini sudah terbalut dengan sprei yang Adam pasangkan, lukanya tertutup sekarang. Dan, dua laki-laki paruh bayah tadi tidak mengetahui luka Hana karena tertutupi oleg gamis yang Hana kenakan, panjangnya sampai kepada jari kaki.
"Ada apa ini?" Suara Bu Nawang pemilik kontrakan masuk ke dalam ruangan yang tidak terbentuk rupanya.
"Jelaskan sekarang juga. Saya tidak mau kontrakan saya dicap sebagai ladang maksiat. Apa yang kalian berdua lakukan?" Nawang mengelus dadanya, lalu menghela napas.
"Hana, jelaskan kepada saya. Ada apa?! Kalau Hana tetap diam saja, saya akan lebih kecewa." Lagi-lagi Nawang mengelus dadanya, kemudian Hana mendongak dengan mata yang berkaca-kaca.
"Bu, ini bukan seperti apa yang mereka lihat dan katakan. Ini salah paham, Bu." Suara Hana bergetar, sesaat kemudian tangisnya pecah.
Hana sudah tidak bisa bicara lagi, sekarang ia luruh di lantai. Memeluk tubuhnya sendiri, Hana sekarang tau bahwa ia sedang di fitnah oleh warga yang kini suaranya menggema di depan kontrakan. Suara itu berisi hujatan dan makian yang ditujukan untuk Hana.
"Di sini tidak ada tanda-tanda ledakan. Dan, di sini juga tidak ada sisa-sisa kebakaran. Jika memang kebakarang sekecil apa pun, akan menyisakan puing-puing materi yang terbakar," papar Satpol PP sambil mengamati dapur Hana, yang menjadi tempat observasi.
Adam kini tengah menjelaskan sedetail dan selogis mungkin kepada Bu Nawang dan berbagai pihak. Hana kini di kamar, ia tidak kuat mendengar hujatan warga yang mengiranya pelacur dan wanita tidak tau malu. Adam sekarang ada di ruang tamu, dengan gaya bahasanya yang lugas ia memerinci setiap apa yang telah terjadi.
"Sesungguhnya, apa pun itu harus ada bukti. jangan pandai bersilat lidah," ujar Pak RT setempat yang sekarang ada di samping Adam, dengan ekspresi wajah yang sulit untuk diartikan.
"Pak, tadi saya dan teman saya memang mendengar ledakan ketika berusaha membuka pintu dapur. Dan, sebelum itu ada seorang Ibu-Ibu yang berbicara di dalam telepon bahwa dapur di sini kebakaran. Alhasil, saya kemari bersama teman saya, bertepatan dengan teman saya yang hendak mengambil baju untuk temannya yang sekarang ini sedang sakit."
"Mana buktinya?! Jangan pandai berbicara kamu! Kalau kamu mau merusak nama baik daerah ini silahkan! Tapi jangan bawa-bawa Hana! Dia ini warga baru yang terkenal agamis di sini, kamu tidak kasihan, ha? Kamu tega merusak martabat Hana. Bayangkan jika Hana itu Ibumu, kamu tega?!"
Hana yang berjalan menuju ruang tamu untuk ikut menjelaskan memasang wajah getir, mendengar penurutan Pak RT yang ditujukan kepada Adam yang tidak salah apa-apa. Hana menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, mengusap air matanya kasar lalu segeta berjalan ke ruang tamu.
"Pak, setidaknya jangan mengambil keputusan terlebih dahulu, biarkan kami mengumpulkan dan mencari bukti bahwa kami tidak melakukan hal sedemikian rupa." Suara Adam terdengar parau, dengan wajah yang risau Adam menoleh kepada Hana yang baru saja tiba di ruang tamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me to Jannah (END)
Acak📒Spiritual - Romance "Tapi, seenggaknya luka-luka kecil ini, jadi saksi bisu perjuangan Hana buat ngemilikin Kak Adam seutuhnya." Hana memasang senyuman manis, menatap Desi yang wajahnya sinis itu. "Han, dengerin Desi dulu. Kak Adam itu enggak akan...