📒 35. Dunia Virtual

348 34 0
                                    

"Andai kalau Hana gak mencintai Kakak. Mungkin, hidup Kakak enak. Karena Hana, Kakak jadi hidup susah. Ceraikan Hana, Kak. Ceraikan."

Adam berdiri kaku di hadapan Hana dengan masih membawa laptop di tangannya. Hana menangis sekarang, sumpah ia merasa bersalah sepenuhnya atas kehidupan Adam sekarang. Adam sedih, bagaimana bisa Hana mengucapkan kata 'cerai' dengan begitu mudahnya. Apalagi, Adam baru saja pulang dari kampus sore ini, rasanya Adam ingin marah kepada Hana yang tiba-tiba meminta cerai dengan alasan yang tidak logis, bukannya malah disambut dengan senyuman. Adam juga sedikit kesal,  kepada Hana yang memutuskan pulang sendiri dengan melanggar perjanjian tadi. Hana memang memutuskan pulang terlebih dahulu dari kampus karena, ia sudah tak tahan ingin menangis. Setiap ia membuka media sosialnya, di sana penuh akan hujatan yang terkuak langsung di kolom komentar postingan Hana.

"Dunia virtual itu menyakitkan. Mereka mengetik dengan jari, tanpa hati. Tanpa mereka sadari, jari mereka yang bergerak di gawai canggih mereka membuat Hana rapuh, please help me i'm so sad." Hana duduk di sofa, lalu memukuli kepalanya dengan bantal sedikit keras.

Adam dengan cekatan mengambil bantal tersebut lalu melemparnya sembarangan. Adam segera memeluk Hana dengan hangat, karena dengan hal itu saja yang bisa membuat Hana tenang.

"Hana, jangan masukin hati apa yang dibicarakan mereka di media sosial. Kita jangan mudah terpancing. Kita, kan gak ngelakuin hal itu jadi kita jangan terpancing." Adam mengelus teratur pundak Hana, lalu menarik tubuh Hana ke dalam pelukannya lagi karena Hana menangis semakin terisak sendu.

"Hana merasa bersalah, sama Kakak. Andai aja kalau Hana gak mencintai Kakak, semua ini gak akan terjadi. Hana akar masalah dari semua ini. Hana manusia terburuk yang pernah Kakak temui bukan?" Hana memukuli lengan Adam pelan di sela-sela tubuhnya yang semakin didekap oleh Adam. Adam tau betul, pelukan darinya bisa menangkan Hana.

Adam diam saja, tak mengindahkan perkataan Hana yang sepenuhnya ngawur itu. Daripada menyahuti nanti tangisan Hana semakin menjadi.

"Udah, jangan nangis lagi. Kasus kita sedang diusut sama beberapa pihak. Tenang, kamu jangan terlalu panik." Adam tersenyum tipis setelahnya ketika Hana mengangguk pelan.

"Hana mau tanya, kalau kasus kita sudah terungkap. Dan, terbukti jika kita tidak melakukan hal itu. Apakah Kak Adam akan menceraikan Hana?"

Hening. Hana hanya menunduk. Sedangkan Adam ia menatap Hana dengan intens. Entahlah, Adam sangat membenci kata 'cerai' yang terlontar begitu mudahnya dari bibir Hana. Adam menghela napas pelan, lalu berlalu meninggalkan Hana begitu saja. Adam menaiki satu persatu anak tangga dengan perasaan sedikit marah kepada Hana. Bisa-bisanya Hana berpikir semacam anak kecil. Adam sangat tidak menyukainya.

"Kak? Mau ke mana? Jawab pertanyaan Hana dulu," lontar Hana dengan berjalan membuntuti langkah Adam. Memberanikan diri untuk mencekal tangan Adam, sejujurnya Hana takut kepada Adam jika sudah berwajah datar dan tatapannya tajam seperti saat ini.

"Kalau kamu istri yang baik, kamu pasti tau jawabannya. Sudah kamu mandi sana, setelah itu kita pergi ke pasar untuk belanja bulanan," tutur Adam dengan mudahnya. Sungguh, Adam laki-laki yang baik. Pada saat marah pun, tutur katanya jauh dari kata orang marah.

"Lelaki penyabar adalah suamiku." Hana berjinjit, lalu mencium rahang tegas milik Adam dengan singkat. Segera berlari ke kamar mandi dengan sedikit berlari.

Adam terkekeh kecil. Bisa-bisanya tingkah kecil Hana membuat emosi Adam mereda. Apakah Adam sudah bisa mencintai Hana sekarang? Perasaan Adam begitu rumit. Adam menyentuh rahang yang baru saja Hana cium, lalu geleng-geleng kepala tak lupa dengan kekehan kecilnya.

Pintu kamar terbuka, Adam segera meletakkan tasnya di meja kemudian melepas hoddienya jadi, kini Adam hanya memakai kaos oblong warna putih. Adam masuk ke dalam kamar mandi, selepas mandi Adam bersiap-siap untuk bekerja.

"Mas." Pintu kamar terbuka, menampakkan sosok Hana dengan wajah gembira.

Adam yang tengah rebahan di ranjang seketika bangun, mengernyitkan dahi. Sejak kapan Hana memanggilnya dengan sebutan 'Mas' membuat Adam geleng-geleng kepala.

"Kamu bilang apa barusan?" kata Adam de
menunjuk  ke arah Hana dengan dagu.

"Mas," jawab Hana enteng namun ada sedikit penekanan dalam hurufnya.

"Kenapa kamu panggil itu?" Lagi-lagi Adam bertanya, semacam sedikit tidak suka dipanggil dengan sebutan 'Mas'.

"Hana kecepelosan, abis nonton film tadi." Hana menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Memang, apa yang diucapkan Hana benar.

"Hana, jangan niru apa pun hal negatif yang ada di film, ya. Gak baik." Adam meletakkan handphonenya di nakas, kemudian merebahkan tubuhnya lagi di ranjang.

"Kak Adam gak suka, ya? Kalau Hana panggil Kakak dengan sebutan itu? Kalau Kakak gak suka, Hana bisa kok ganti." Adam berjalan menuju ranjang, kemudian duduk di tepi ranjang.

"Saya gak suka untuk sekarang. Kalau dua atau tiga tahun ke depan, boleh aja." Adam menatap langit kamar, lalu menoleh kepada Hana yang kini ikut merebahkan dirinya di samping Adam.

"Memangnya, dua atau tiga tahun ke depan kita masih bersama? Hana takut, kalau Kak Adam pergi tinggalin Hana," lontar Hana dengan mudahnya, Adam menghela napas lalu memejamkan matanya sebentar.

"Hana tau?" Hana menggeleng cepat lalu kembali menatap atap kamar dengan tatapan sayu.

"Hana belum tau, kalau Hana adalah kekuatan Adam, Hana adalah hal yang membuat Adam tersenyum setiap detiknya. Dan Hana, adalah partner terbaik." Seusai berbicara tersebut, Adam menganti posisinya miring ke hadapan Hana lalu mengusap puncak kepala Hana teratur.

"Hana juga harus bersyukur. Kita sekarang dipersatukan, bukan kah ini yang sejak dulu kamu damba? Adam paham betul kamu, Han. Adam paham bagaimana perasaan kamu sekarang." Hana menoleh kepada Adam, bersamaan dengan air mata yang keluar dari pelupuk mata Hana.

"Hana juga sadar, kalau pernikahan ini bukan hal yang Kakak damba bukan? Kak, Hana juga tidak menginginkan pernikahan yang dilandasi fitnah ini, Hana mau pernikahan yang lillahi ta'ala. Yang benar-benar ada cinta di sana, benar-benar pernikahan. Bukan yang seperti ini ... hanya satu pihak yang menyimpan rasa." Suara Hana bergetar, pertanda bahwa Hana benar-benar menangis sekarang.

Adam diam, ia tak tau harus menjawab apa. Apa yang dikatakan Hana memang benar adanya. Adam belum sama sekali merasakan cinta untuk Hana. Yang Adam rasakan Hana hanyalah sosok yang selalu ada dan selalu menjadi kekuatan Adam.

"Han, beri waktu untuk Adam supaya bisa mencintai kamu." Adam mencium puncak kepala Hana sedikit lama, tak terasa kerudung Hana bagian atas hangat karena air mata yang keluar dari mata Adam.

Hana menjauhkan kepala Adam dari kepalanya, mendapati Adam yang menangis kecil. Hana mengajak Adam untuk duduk, kemudian Hana mengusap air mata Adam dengan pelan. Mata mereka saling menatap lekat, Adam segera menarik tubuh Hana ke dalam dekapannya. Memeluk Hana seerat-eratnya.

"Maafin Adam yang dari dulu jadi alasan kamu menangis, Han. Dulu air mata kamu adalah hal yang paling tidak penting, karena kamu bukan siapa-siapa Adam. Sekarang, air mata kamu yang keluar karena Adam, adalah dosa. Karena sekarang kamu istriku, bukan temanku."

"Izinkan Adam untuk belajar mencintai kamu, izinkan Adam untuk belajar menghargai cinta." Adam melepas pelukan, lalu mengusap air mata Hana dengan pelan.

To Be Continued

📝Jangan copas! Allah Maha Melihat.
📝Jangan lupa vote & komen, gratiss!
📝 Cmiw yaaa.

Take Me to Jannah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang