Hana berjalan di lobi kampus, membawa beberapa buku tebal di tangannya. Beberapa mahasiswa memberikan senyuman dan menyapa Hana. Hana hanya mengangguk pelan, sembari tersenyum tipis.
Koridor kampus kali ini sedikit ramai, entah kenapa, bukan biasanya sepagi ini mahasiswa dan mahasiswi berkumpul sambil berbincang hangat. Atau mungkin, mereka sedang merencanakan liburan semester. Hana tidak terlalu antusias untuk melakukan liburan semester. Ya ... yang Hana inginkan adalah bertemu dengan Adam.
Hana masuk ke kelas, di kelas masih sepi tidak ada satu orang pun. Hana duduk bi kursinya, lalu menatap lurus ke white board yang masih bersih itu. Hana menghirup napas dalam-dalam, sumpah Hana merindukan tatapan Adam sekarang juga. Hana ingin sekali nekat pergi ke Jakarta supaya bisa bertemu setiap hari dengan Adam. Tapi, itu tidak mungkin rasanya. Secara, kan Herlina tidak mengizinkannya.
"Hallo, gadis aneh!"
Hana memutar bola matanya, ketika mendapati Raga yang ada di pintu kelas sambil menyandarkan tubuhnya di pintu. Hana tersenyum malas, sedangkan Raga ia segera berjalan dan duduk di kursinya yang kebetulan dekat dengan kursi Hana.
"Kenapa, sih?" kata Raga sambil melepaskan tas punggungnya, lalu meletakkannya di meja.
"Masih nanya, kayak gak tau aja." Hana menjawab tanpa menatap kepada Raga, tatapan Hana lurus ke depan.
"Adam lagi? Primitif banget sih! Kalau kangen tinggal telepon, Hana." Raga mengusap wajahnya kasar.
Hana memperbaiki kerudungnya lalu berkata, "Raga gak tau apa yang Hana rasaain. Sekarang Hana tuh kangen semua tentang Kak Adam! Hana pengen kuliah di Jakarta aja kalau terus kayak gini sesuai dengan ide Raga yang Raga bilang ekstrim itu."
"Bicara apa, sih. Bunda kamu gak akan izinin, Hana!" sarkas Raga, lalu membenarkan posisi duduknya.
"Kata siapa? Hana izin sama Bunda buat kuliah di Jakarta, kan setahun lalu. Kita, kan gak akan pernah tau, kalau Bunda berubah pikiran," kata Hana, menoleh kepasa Raga yang meletakkan kepalanya di meja sambil menatap Hana.
"Iya, sih. Apa salahnya nyoba lagi, ya, kan? Doain aja, Tante izinin." Raga kini mendukung usul Hana, ya ... walau pun mereka berdua harus menerima amukan panjang lebar dari Herlina.
Tepat di jam delapan, bel berbunyi. Semua mahasiswa dan mahasiswi masuk ke kelas. Hana segera membenarkan posisi duduknya lalu menghadap lurus ke depan.
"Selamat pagi, Hana." Hana mengangguk, kepada Hansel yang menyapanya sambil merapikan kerah kemejanya. Mungkin Hansel mencoba membuat Hana tertarik. Tapi, tidak semudah itu Hana tertarik kepada lawan jenis.
"Srepet terus, Sel. Jangan kasih kendor," goda Raga lalu menepuk bahu Hansel.
"Woiya pasti, dong. Mana mungkin gue kasih kendor, kendor dikit gue srepet lagi."
Semua yang ada di kelas tertawa, Hansel dengan percaya dirinya menarik kursi Galih ke samping Hana, lalu duduk. Hansel menopang dagunya di meja Hana sambil menatap wajah Hana lekat. Hana sinis, mengernyitkan dahi. Kemudian tas tebal berisi novel yang ia pinjam dari perpustakaan Hana pukulkan ke bahu Hansel.
Hansel meringis, lalu menyengir kuda. Semua yang ada di kelas tertawa terbahak-bahak. Tanpa disadari, Pak Arka selaku dosen killer yang ada kelas pagi ini itu sudah ada di pintu kelas.
Pak Arka menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela napas gusar. Pak Arka adalah tipe dosen yang tidak suka mendengar kericuhan tawa. Oh ayolah, akan jadi apa kelas ini.
Semua yang ada di kelas sontak diam dan menunduk. Hansel masih tetap menopang dagu sambil menatap Hana lekat. Sedangkan Hana, ia menyengir kuda kepada Pak Arka yang kini sudah ada di belakang Hansel sambil berkacak pinggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me to Jannah (END)
Acak📒Spiritual - Romance "Tapi, seenggaknya luka-luka kecil ini, jadi saksi bisu perjuangan Hana buat ngemilikin Kak Adam seutuhnya." Hana memasang senyuman manis, menatap Desi yang wajahnya sinis itu. "Han, dengerin Desi dulu. Kak Adam itu enggak akan...