📒 32. Maried By Accidient

536 39 0
                                    

"Neng, satu kilo berapa, ya?"

Hana yang merasakan pundaknya ditoel oleh seorang emak-emak di pasar sontak menoleh, lalu memberikan senyuman walau pun sedikit canggung. Hana berbalik badan, lalu menjelaskan bahwa dirinya bukan penjual lapak cabai yang kini ada di depannya, Hana adalah pembeli yang sedang mengantri, bukan pedagang. Hanya saja, Hana masuk ke lapak dagangan karena disuruh menjaga oleh penjualnya. Penjualnya sedang pergi ke lapak pojok, untuk membeli kantong plastik. Mengingat, si kantong plastik sudah mulai menipis, karena banyaknya pembeli.

"Maaf ya, Neng. Saya kira penjualna." Si emak-emak berkerudung merah darah tersebut menggaruk lehernya yang tidak gatal, lalu tangannya mulai menyentuh cabai merah yang ada di keranjang.

"Mana mungkin atuh, Mak. Pedangang cabai gelisnya Masya Allah pisan euy."

Hana dan beberapa pembali yang lain pun menoleh kepada sumber suara. Terdapat laki-laki bercelana abu-abu dan berkaos oblong putih tengah senyum-senyum malu kepada Hana. Hana yang mendapatinya segera menunduk, lalu fokus menimbang cabai kembali.

"Kasepna Mak ngapain di sini? Bukannya lagi kerja?" tanya si Ibu berjilbab merah tadi, sembari membenarkan kantong berlanjaannya.

"Darwin teh disuruh nyusul Mak sama Mang Idoy. Katanya Mang Idoy, mak lagi belanja di pasar. Disuruh pulang, ada tamu. Gak disangka-sangka Darwin teh ketemu sama teteh gelis."

Si Ibu mengangkat salah satu sudut bibirnya ke atas, merasa aneh dengan anaknya. Hana fokus menimbang, tak mengindahkannya. Lagian, itu hanya sia-sia semata. Kata Hana, gombalan doang bukan kata hati.

"Teteh kok cemberut wae. Senyum atu, Teh." Darwin menunduk sambil tersenyum malu-malu, sesaat kemudian si Ibu mencubit siku Darwin, membuat Darwin bergejolak kaget.

Hana menelan salivanya berkali-kali, ketika mendapati Si Ibu ngedumel tidak jelas kepada Darwin sambil mencubiti sikunya di depan pembeli yang mengantri. Sungguh memalukan. Buktinya dari pipi hingga telinga Darwin memerah.

"Cabai sepuluh kilo."

"Sebentar ya, Pak. Silahkan mengantri terlebih dahulu."

Hana memberikan cabai yang sudah dibungkus dengan koran kepada pembeli yang sudah mengantri. Ketika memberikan cabai, Hana terpetanjat dengan adanya Adam yang kini sedang fokus bertelpon.

Dengan jantung yang berdebar, Hana terus melayani pembeli dengan bungkus koran. Si pembeli kantong plastik yang tak kunjung kembali, membuat Han berisiniatif membungkusnya dengan koran.

Kini tibalah giliran Adam. Hana sudah membungkus cabai pedanan Adam dengan kantong plastik besar yang ia ambil di tasnya, rencanya oleh Hana hendak dijadikan wadah buku-buku yang akan ia sumbangkan.

Adam masih saka bertelepon, raut wajah Adam pun terkesan serius. Seperti bicara hal yang penting. Rasanya Hana ingin menangis sekarang juga, Adam yang tak kunjung mengakhiri telepon dalam keadaan kaki Hana yang lelah berdiri lama.

"Kamu kerja di sini, Hana?" tanya Adam dengan santainya, Hana menunduk sambil menggelengkan kepala.

"Terus kenapa Hana di sini? Pulang sekarang. Jangan curi kesempatan biar bisa digombalin kayak tadi. Nanti kamu kena mental." Hana meneguk salivanya, omongan Adam begitu mengerikan dengan sedikit bumbu romantis bagi Hana.

"Jam satu siang, Adam gak mau lihat mata Hana sembab kayak pagi ini. Hal ini memang berat, Han. Tapi Allah kasih ujian ini karena kita kuat, kita bisa."

"Sejak kapan Hana dan Kak Adam menjadi kita?" tanya Hana dengan sedikit melihat mata Adam, lalu menunduk lagi dengan pipi yang mulai memanas.

"Sejak dulu, sejak Adam mengenal kata ganti ke tiga." Adam tersenyum tipis, mendapati Hana yang terkekeh kecil masih dalam kedaan menunduk.

"Kak Adam ini cabainya." Hana menyodorkan kantong cabai kepada Adam. Dalan hatinya, ia ingin mengusir Adam pergi secepatnya. Dikarenakan, ia tak sanggup lagi untuk menahan segala kebaperan yang sekarang Hana rasakan.

Adam menerima kantong plastik, lalu mengambil dua lembar uang berwarna biru. "Ini." Hana mendongak, dengan sedikit membayangkan jika Adam tengah memberikan uang belajaan perbulannya. Hadeuh, Hana halu tingkat akut rupanya.

"Hana? Adam pamit dulu. Assalamualaikum." Adam berbalik badan. Dengan perlahan tapi pasti, punggung Adam terlihat semakin menjauh dan menjauh dari letak Hana.

Hana tersenyum tipis, kemudian segera pamit untuk pulang kepada pemilik lapak yang baru saja sampai. Hana berjalan keluar dari pasar, menuju parkiran. Kemudian menaiki angkot yang sudah berbaris di ujung jalan. Hana masuk ke dalam angkot, lalu turun di sebuah butik.

"Hana Hellyora, ya?" kata seorang kasir ketika Hana baru saja masuk membuka pintu.

"Iya, dengan saya." Hana mendekat kepada kasir perempuan tersebut, lalu duduk di kursi terdekat.

"Gaun syar'i putih ya? Maaf ya, Kak. Gaunnya sudah diambil terlebih dahulu sebelum Kakak ke mari oleh Bu Herlina." Hana melotot, bagaimana bisa Herlina mengambil gaun syar'i yang sudah dipesankan oleh Fadilah. Hana menjadi merasa merepotkan.

"Oh ya sudah. Terima kasih ya, Mbak."

Hana keluar dari butik, berjalan setengah berlari kecil di trotoar jalan. Sambil berpikir bagaimana bisa Herlina sudah ada di Jakarta sepagi ini. Hana terus saja berjalan, sampai di mana ia sampai di apartment milik Herlina yang jaraknya tak jauh dari, butik. Hana membuka gerbang, langsung mendapati Herlima berada di ambang pintu sedang bertelepon.

"Bunda, ayo masuk Bunda. Bunda capek, kan? Bunda gak seharusnya kayak gini. Bunda, kan baru aja sampai dari Belanda terus ke Jakarta. Bunda ... Bunda bikin Hana khawatir." Hana memasukkan kunci apartment kepada gagang pintu, lalu membukanya.

Herlina berjalan terlebih dahulu masuk ke dalam apartment. Hana membawa koper Herlina sambil tersenyum getir.

"Hana, apa pun buat kamu Bunda gak akan capek. Apalagi, ini hari spesial kamu. Bunda harus ada, dan bunda juga harus support kamu," kata Herlina sambil duduk di sofa, lalu tersenyum kepada Hana.

Hana ikut duduk, ia duduk di samping Herlina kemudian berkata, "Bunda, Hana gak tau lagi bagaimana caranya buat balas kebaikan Bunda. Hana minta maaf, atas kecerobohan Hana Bunda jadi dengar kabar buruk ini."

"Ini sudah digariskan. Jangan menyalahkan siapa pun sayang, kamu harus belajar ikhlas, ya." Herlina mengelus puncak kepala Hana teratur.

"Bunda pasti kecewa sama Hana, iya 'kan? Hana minta maaf Bunda." Hana memeluk Herlina dari arah samping kemudian, menangis menumpahkan air matanya di sana.

"Hana, Bunda gak akan kecewa sama kamu. Bunda percaya, kalau kamu gak akan melakukan hal sedemikian rupa dengan Adam. Bunda percaya sama kalian, Bunda yakin ini hanya fitnah sayang. Secepatnya, Bunda dan orang tua Adam akan usut semua ini."

"Kamu jangan sedih. Kamu jangan beranggapan jika kasus selesai kamu akan diceraikan oleh Adam. Jangan berpikir seperti itu. Ikuti alurnya, Hana. Allah tau kamu kuat, jadi Allah bebankan ini."

"Bunda tau, kamu belum siap dan sekarang kamu harus siap, jangan jadikan pernikahan ini main-main karena bertumpu pada alasan fitnah yang membelenggu. Pernikahan ya pernikahan, harus serius. Bunda tau isi dari pada hati kecil kamu." Herlina menyentuh pundak Hana lalu mengecup singkat dahi Hana. "Karena, kamu adalah belahan jiwa Bunda, kamu adalah kesayangan Bunda."

To Be Continued

📝Jangan copas! Allah Maha Melihat
📝Jangan lupa vote dan komen
📝See you, Babe 💛

Take Me to Jannah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang