Adam membuka jendela kamarnya, lalu berjalan keluar dari kamar. Adam mendapati Fadilah tengah duduk di sofa, Adam meminta izin untuk ke kantor pos, memaketkan novel milik Hana yang sudah tiga tahun ada di Adam.
Fadilah, mengizinkan. Adam segera keluar dari rumah yang megah itu lalu berjalan ke parkiran. Adam memilih menggunakan motor vespa antik milik Abbahnya, Rafa. Kata Rafa, motor vespa ini adalah saksi bisu pertemuannya dengan Fadilah.
Adam segera mengeluarkan motor vespa dari parkiran, menghidupkan mesinnya kemudian motor berjalan. Adam kini memakai sarung hitam dan kaos pendek warna putih, ya ... begitulah Adam, dia adalah sosok yang sederhana.
Motor vespa antik mulai menembus jalanan, entah demi apa jalanan Jakarta saat ini tidak padat dan alur lalu lintas berjalan dengan lancar. Adam menghirup udara dalam-dalam merasakan udara Jakarta yang sudah lama tak ia hirup. Sekali-kali Adam memperhatikan dirinya di spion, terlihat tampan. Apakah Adam baru menyadari jika dirinya itu tampan. Ya ... tampan-tampan manis dingin. Eh! Plak!
"Jalur kilat, ya." Petugas kantor pos wanita yang terbilang muda itu tersenyum, lalu Adam menyerahkan beberapa lembar uang.
"Sisanya untuk ambil saja."
"Kenapa gak hatinya aja buat saya? Ganteng banget sih kamu, hm?" kata wanita itu sambil menatap Adam genit.
Adam kembali ke parkiran, tak mengindahkan pernyataan wanita tadi. Hanya angin yang berhembus saja bagi Adam, tidak berefek apa pun. Wanita itu kira, Adam akan terbawa perasaan. Tidak semudah itu ya! Jika mau Adam terbawa perasaan, wanita tersebut harus mendatangi Hana dulu, untuk belajar trik agar Adam terbawa perasaan.
"Memangnya, Hana pernah gombal terus Adam baper? Ngga!"
Beberapa orang yang ada di parkiran menatap Adam aneh, karena memakai sarung. Apa salahnya? Apakah mereka tidak terbiasa dengan pemandangan orang memakai sarung.
Adam tak mengindahkan, ia menaiki motor vespanya lalu memakai helm. Sekitar sepuluh menit, Adam telah sampai di rumah. Adam segera masuk ke kamar, lalu mengambil ponselnya di nakas, niatnya ingin menghubungi Hana. Terakhir bertelepon pun dua bulan yang lalu, ketika Hana menanyakan lagi huruf apa yang tidak ada dalam tabel periodik.
"Assalamualaikum," kata Adam ketika panggilan telepon sudah terhubung dengan Hana.
Masih hening. Tak ada sahutan dari Hana.
Kini Hana tengah menatap kosong ke kolam, masih tidak menyangka jika Adam menghubunginya. Desi yang tengah mengetik di laptop pun menyenggol siku Hana, alhasil handphone Hana jatuh ke kolam.
Hana membuyarkan lamunannya, lalu menatap panik kepada Handphone yang mengambang itu. Desi terdiam, sedangkan Hana langsung mencebur ke dalam kolam.
Yang Adam dengar di dalam sambungan telepon hanyalah bunyi tak jelas juga bunyi air kran yang menyala. Memang, kolam Hana tengah diisi air saat ini.
"Hallo, Hana ... kamu gak apa-apa?" kata Adam, sambil menghidupkan tombol speker. Jujur Adam khawatir, ketika mendengar jeritan perempuan.
Jeritan perempuan itu adalah Desi yang Hana lempari mainan kodok kecil milik ponakannya kepada Desi yang tengah berdiri di tepi kolam. Hana gagal fokus, Hana membiarkan Handphonenya terendam di air.
"Hanaa! Handphonemu itu! Mentang-mentang sultan, Handphonenya dibiarin gitu!" pekik Desi sambil menghindar dari Hana yang memerciki ia air kolam.
"Bodo amat! Hana pengen main air!" Hana menarik kaki Desi ke dalam kolam.
Desi tercebur ke dalam kolam, sambil ngedumel tidak jelas. Hana mendorong Desi ke sana ke mari, begipula dengan Desi. Mereka bergurau di dalam kolam, melupakan tugasnya yang akan dikumpulkan besok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me to Jannah (END)
Diversos📒Spiritual - Romance "Tapi, seenggaknya luka-luka kecil ini, jadi saksi bisu perjuangan Hana buat ngemilikin Kak Adam seutuhnya." Hana memasang senyuman manis, menatap Desi yang wajahnya sinis itu. "Han, dengerin Desi dulu. Kak Adam itu enggak akan...