📒 24. My Future Husband

365 34 0
                                    

"Assalamualaikum, my future husband!"

Adam terdiam, mencerna suara yang baru saja ia dengar. Seperti familiar di telinga Adam, tapi kapan Adam mendengar suara itu. Adam menenguk salivanya, lalu menatal layar ponselnya.

"Hallo? Ini Hana Kakak! Ya Allah ... jawab Hana, Kak. Apa Hana salah orang, ya?"

Adam menautkan alisnya tak percaya, ia kembali mendengar suara cempreng Hana yang sudah lama tidak ia dengar.

Di sisi lain Hana menatap binggung kepada Raga yang duduk santai di sofa. Raga memasang sorot biasa aja, Hana kini sedang binggung apakah benar yang ia telepon ini adalah Adam. Karena, Raga yang memberi nomor tersebut. Kalian tau, kan jika Raga itu sangat jahil dan usil. Bisa saja Raga sekarang tengah menjahili Hana.

"Kamu enggak salah, Han."

Suara Adam terdengar parau jika dalam sambungan telepon. Hana melotot, yang ia dengar adalah suara Adam yang kini sudah empat tahun lamanya, masih saja Hana mencintai Adam, tanpa balasan.

"Kak Adam masih ingat Hana, hm?"

Hana tersenyum ceria lalu menggigit jari-jarinya sambil mondar-mandir di depan Raga yang duduk santai sambil memainkan handphone. Raga tersenyum, setidaknya Raga bisa membantu Hana untuk mendengar suara Adam.

"Siapa juga yang melupakan gadis ceria yang membuat kepala Adam ingin meledak karena selama setahun ini kamu enggak ada kabar sama sekali. Kamu marah sama Adam ya, Han?" kata Adam panjang lebar, suara Adam seketika menghangatkan dada Hana lalu mucullah desiran aneh di sana.

Hana yang tengah mondar-mandir itu matanya berkaca-kaca, sekuat tenaga Hana tetap tersenyum. Masih tidak percaya, jika Tuhan memberi izin Hana dan Adam bisa kembali berbincang.

"Kak Adam masih sama kayak dulu, ya. Masih suka bikin pipi Hana panas, jantung Hana serasa sedang marathon."

Hana menjeda ucapannya, ketika air mata jatuh dari pelupuk mata Hana ketika ia tersenyum. Hana mengusap air matanya, lalu menarik napas dan ia buang.

"Hana? you oke?" tanya Adam, membuat Hana lagi-lagi tersenyum dengan anggunnya.

"Hana itu gak marah sama Kakak, mana bisa Hana dalam keadaan rindu yang udah nimbrung, Hana marah sama Kakak."

Adam terkekeh pelan, Hana pun begitu. Raga tersenyum kepada Herlina yang tengah memperhatikan aktifitas Hana. Senyuman dan jiwa periang Hana kini kembali lagi dengan bertelepon. Herlina mengacungkan jempol kepada Raga, lalu Raga tersenyum lebar.

"Kak Adam sekarang gak punya pasangan, kan? Kak Adam jangan pacaran, ya. Kata Kak Adam waktu itu, kan nyuruh Hana buat gak pacaran. Pacaran itu zina. Dan, ya Kak Adam bilang kalau kita akan bertemu lagi di titik terbaik menurut Tuhan."

"Hana, Adam masih ingat. Tenang saja."

Hana menghembuskan napas lega, lalu berjalan ke teras sambil senyum sendirian. Raga menggeleng-gelengkan kepalanya, teman satunya itu tengah mabuk asmara.

"Udahan dulu, ya."

"Eh, ya sudah. Pasti Kakak capek, ya? Selamat istirahat ganteng ... Kak Adam harus tau ya kalau soal perasaan, Hana masih seperti yang dulu."

"Iya, Hana."

"Kak Adam juga jangan kaget kalau sewaktu-waktu ketemu Hana di Jakarta karena ....," lirih Hana.

"Karena Hana tambah gemuk," goda Adam lalu terkekeh pelan.

"Hana udah diet sejak lulus SMA lho, Kak. Masa iya? Hana gak ada perubahan?" Hana mengerucutkan bibirnya, lalu berdiri di depan cermin rumah.

"Cover bagus, belum tentu isinya bagus."

Hana tertawa, lalu berkata, "Iya! Benar banget. Ya Allah, Kak. Hana jadi makin rindu sama Kakak. Kakak rindu gak sama Hana?"

"Rindu nasi gorengnya, bukan orangnya."

"Kok Kak Adam jadi nyebelin?" kata Hana sambil duduk pelan-pelan di kursi teras.

"Ya kalau Adam gak nyebelin Hana gak akan nanya kenapa Adam nyebelin."

"Makin nyebelin aja sih! Aneh," kata Hana "Tapi Hana gak akan pernah benci kok sama Kakak, ya walau pun Kakak nyebelin," sambung Hana lalu terkekeh.

"Katanya suruh istirahat, terus kenapa sekrang malah diajak ngobrol?"

"Hana kelupaan, saking rindunya." Hana mengelus dadanya, sungguh jantung Hana berdetak lebih kencang.

"Ya sudah, assalamualaikum."

"Waalaikusalam, Kak Adam!" Hana mematikan sambungan telepon, lalu masuk ke dalam rumah dengan senyuman yang manis.

Herlina yang tengah berbicang pun menatap Hana aneh, Raga pun menatap Hana sambil menyengir. Hana menghela napas, lalu duduk di samping Herlina.

"Iya, Ga. Akhir-akhir ini emang jalanan macet. Jadi, ya distribusi barang ke Jakarta agak lambat datangnya," kata Herlin melanjutkan omongannya.

"Biasalah, kan Jakarta itu ibu kota negara." Hana menimpali, Herlina dan Raga lansung mengusap muka gusar.

"Kebiasaan. Gak diajak bicara main srepet aja!" sarkas Raga, kemudian tersenyum menang.

"Lah, biarin dong Hana main srepet." Hana menyanggah, lalu memutar bola matanya malas.

"Heh, gak boleh dong." Raga tak mau kalah, lalu memasang tatapan sinis kepada Hana.

"Hih, hak Hana dong buat nyerepet. Hana, kan juga punya mulut! Wle!" Hana memajukan bibir bawahnya beberapa centi ke depan, membuat Raga geram, ingin memotongnya dengan belati.

"Udah, deh. Kalian stop berantem kalian ini sepupuan," lerai Herlina sambil berdiri.

"APA?! SEPUPU?"

Hana dan Adam mengangga tak percaya, mana bisa ini terjadi. Hal tersebut tidak pernah terpikirkan sekali pun oleh Hana atau pun Raga. Oh ayolah ... dari mana silsilahnya? Hana dan Raga bertemu pada silsilah yang mana?.

Herlina meletakkan buku tebal penuh debu di meja. Hana mengernyit, baru kali ini ia melihatnya. Apalagi Herlina mengambil buku tersebut di laci ruang TV, bagaimana bisa Hana tidak tau apabila ada buku setebal ini di sana. Padahal, Hana hampir setiap hari membuka laci tersebut untuk mengambil beberapa lampu neon.

"Jadi, Hana dan Raga bertemu di jalur ini."

Herlina memyimpulkan sambil menunjuk satu persatu cangga, buyur dan kakek. Mereka mengangguk pelan, lalu saling membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan tenganya.

"Perdamaian-perdamaian."

To Be Continued

Temu kangen lewat telepon astagaaa, kapan temu kangen tatap muka. Baper virtual dong jadinya Hana😭😭

📝Jangan copas!
📝Jangan lupa vote & komen!
📝See you, Babe 💛

Take Me to Jannah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang