📒 42. Butuh Kejelasan

340 38 2
                                    

"Dua minggu Kakak ke mana aja?"

Hana mencoba tersenyum, kepada Adam walau pun Hana sekarang sedang emosi padanya. Adam yang sedang mengaduk opor ayam pun sedikit tak paham akan pertanyaan Hana yang baru saja Hana ajukan. Adam menoleh, mendapati Hana yang menaruh tasnya di meja makan yang kebetulan satu ruangan dengan dapur.

Adam masih biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ya, memang Adam belum paham akan pertanyaan yang Hana ajukan. Adam terus mengaduk opor ayam buatannya, setelah dirasa mendidih Adam menuangkannya kepada mangkok. Sengaja, Adam memasak opor ayam karena sudah dua bulan lamanya Hana dan Adam tidak memakan daging ayam lamanya, dari awal pernikahan sampai sekarang ini.

"Gimana kuliahnya? Kamu gak mau cerita apa gitu?" Adam menyarankan kepada Hana yang kini menatap Adam sedikit tajam.

Adam masih sibuk menuangkan opor ayam ke mangkok dengan telaten. Sebenarnya, Hana ingin membantunya. Tapi, apalah daya Hana yang kini sudah terbelenggu oleh emosi. Hana berjalan mengambil gelas di rak, Adam berjalan ke arah Hana sambil menyodorkan mangkok yang berisi opor ayam tadi.

"Makan, yuk. Lihat, aku masak apa. Kita udah lama gak masak ini, lho." Adam berdiri di belakang Hana, Hana sedang minum di depan rak sambil berdiri.

"Han, kalau minum sambil duduk, ya." Hana lagi-lagi tak mengindahkan Adam, ia malah mengisi gelasnya yang sudah tandas dengan air galon yang ada di samping rak.

Adam hanya menghela napas. Mencoba sabar dengan perilaku Hana sekarang. Adam juga tak putus semangat untuk mengajak Hana makan opor ayam. 

"Han, ayo. Kamu enggak mau cicipin opornya dulu?" kata Hana memasang mata memelas kepada Hana yang kini sok sibuk mencuci gelas yang ia pakai tadi di wastafel.

"Hana? Kamu kenapa, sini deh cerita." Tangan kanan Adam berusaha membalikkan badan Hana yang membelakanginya. Tangan kiri Adam masih setia membawa mangkok berisi opor ayam tadi.

Hana yang lama-lama jengkel. Sontak membalikkan badannya dengan ekspresi tatapan tajam kepada Adam. Berbeda dengan Adam, yang sedari tadi tidak diindahkan tutur katanya malah tersenyum tipis, tak ada raut wajah marah di sana.

"Ini buat kamu. Makan, ya." Adam menyodorkan mangkok berisi opor ayam tadi tepat di hadapan perut Hana. Dengan wajah yang berbinar, Adam menyodorkannya.

Hana memutar bola matanya malas. Memejamkan matanya sekejap, sumpah Hana emosi kepada Adam yang tidak langsung menjawab pertanyaan yang Hana ajukan tadi. Malah, membahas soal opor ayam. Menyebalkan bukan? Adam seperti menghindar dari masalah, menurut Hana. Tapi, nyatanya tidak.

"Hana gak butuh ini! Hana butuh kejelasan."

Betapa tidak terkejutnya Adam, ketika opor ayam yang Adam sodorkan tadi langsung dibuang begitu saja ke lantai. Alhasil, opor kececeran di mana-mana, mangkoknya pun pecah menjadi banyak puing-puing kecil. Adam menatap opor ayam yang ia buat sedari tadi, dengan susah payah kini terbuang sia-sia ke lantai.

Di dalam lubuk hati Adam, ia ingin memarahi Hana sekarang. Karena, Hana membuang makanan dengan sia-sia. Tapi urung, Adam beristighfar dalam hatinya. Hana dengan napas yang tidak beraturan, menyadari apa yang telah ia perbuat langsung berlari meninggalkan Adam di dapur sendirian. Hana ingin marah, juga ingin meminta maaf sekarang.

Hana memberhentikan langkahnya di pintu dapur, ia menoleh kepadq Adam yang kini sedang mengambil puing-puing mangkok yang Hana pecahkan tadi. Setelah itu, Adam mengelap opor ayam yang berceceran di lantai dengan telaten menggunakan kain. Hana menyentuh dadanya yang sesak, melihat pemandangan itu. Tidak seharusnya Adam melakukan hal itu.

Suara pintu kamar yang ditutup dengan keras pun, terdengar ke telinga Adam yang sekarang sedang mencuci kain yang ia jadikan untuk mengelap lantai tadi. Adam buru-buru menyelesaikan pekerjaannya, kemudian berjalan ke arah kamar.

Adam mengetok pintu kamar dengan memanggil nama Hana. Tidak ada sahutan dari Hana. Pantas saja, Hana sekarang sedang menangis di kamar mandi dengan menyalakan kran air.

Hana yang ada di kamar mandi, sedang berada di bahwa shower, duduk memeluk lututnya sendiri. Ia menangis di sana, entah kenapa Hana secenggeng ini. Siku Hana dengan tidak sengaja menyenggol kaca yang ada di bathup.

Suara kaca yang pecah pun terdengar sampai luar kamar. Adam yang berusaha mengetok pintu, karena pintu kamar dikunci pun langsung khawatir. Takut, jika Hana melakukan hal yang aneh-aneh. Adam mempunyai ide untuk mendobrak pintu kamar. Ia segera melakukannya.

Sedangkan Hana yang sedang ada di kamar mandi pun, langsung memberhentikan tangisannya kala lampu di kamar mandi itu mati. Hana berdiri dengan sedikit was-was. Apalagi, ia tidak sengaja memecahkan kaca tadi. Hana berjalan dengan tangan yang meraba-raba apa yang ada di depannya, Hana berjalan kepada pintu kamar mandi.

Hana berteriak kencang, lalu meringis kesakitan kala telapak kakinya menginjak serpihak kaca. Hana tetap berjalan ke depan pintu, lalu membuka pintu kamar mandi dengan meringis kesakitan. Hana yang baru saja membuka pintu kamar mandi pun, langsung dipeluk oleh Adam yang baru saja berhasil mendobrak pintu.

Tanpa berbicara apa pun, Adam membopong tubuh Hana ke ranjang. Dengan kedua telapak kaki Hana yang mengeluarkan darah, alhasil darah berceceran di setiap langkah Adam menuju ranjang.

Adam merebahkan tubuh Hana di tengah ranjang, segera Adam mengambil kotak P3K yang ada di laci kamar. Dengan cekatan, Adam mengobati luka Hana. Pengobatan terakhir, Adam memberi plester kepada luka Hana. Hana bangun, menatap Adam yang sedang menutup kotak P3K.

"Jangan diulangi lagi, ya." Adam mengusap puncak kepala Hana sambil tersenyum. Berbeda dengan Hana, ia masih memasang wajah lesuh.

"Kamu tadinya tanya apa sama aku, hm?" tanya Adam dengan lembut. Membuat Hana sedikit meleleh, makan apa Hana dulu? Kenapa ia diberi suami seperti Adam yang sangat penyabar.

"Aku tadi sedikit tidak paham, dengan pertanyaan yang Hana ajukan. Jadi, aku tidak menjawabnya." Adam berjalan ke gantungan handuk, mengambil handuk milik Hana. Adam memberikannya kepada Hana, lalu Hana duduk di tepi ranjang. Mengusap bajunya yang basah. Adam ikut duduk di tepi ranjang, lalu merangkul pundak Hana.

"Katakan, apa yang tadi Hana tanyakan. Redamkan dulu emosinya, ya. Masih mau terbelenggu sama emosi, hm?" tanya Adam, Hana langsung menunduk menyadari emosi yang semakin membelenggu.

Cukup lama hening dengan Hana yang menunduk dan Adam yang merangkul pundak Hana. Kini, Hana menatap kedua mata Adam secara bergantian, intens.

"Maulidah kata, Kakak sudah tidak masuk kuliah selama dua minggu. Jadi selama dua minggu ini Kakak ke mana? Yang dikatakan Maulidah salah, kan? Bilang sama Hana."

Adam menghela napas. Menurunkan tangannya dari pundak Hana. Hana memasang sorot menunggu dalam matanya, sedangkan Adam ia menatap kedua mata Hana dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Seharusnya, Hana tidak mengetahuinya sekarang. Mungkin, ini sudah digariskan." Adam mengelus bahu Hana, teratur. "Iya, aku sudah dua minggu tidak kuliah."

Hana menelan salivanya, matanya yang berkaca-kaca tersebut langsung mengeluarkan air matanya. Hana mengusap air matanya kasar, lalu berkata, "Kenapa? Kakak lupa sama mimpi kita."

"Aku memutuskan untuk putus kuliah," kata Adam tanpa ada keraguan sedikit pun. Hana yang mendengarnya, langsung meneteskan air mata. Hana meminta lagi kejelasan, dengan sedikit mata berkaca-kaca Adam menjelalaskan semua kepada Hana dengan rinci.

"Ini semua karena Hana, ya? Kakak menyesal, kan menikahi Hana. Andai kalau Kakak gak menikahi Hana. Kakak masih bisa kuliah dan gak akan hidup sederhana seperti sekarang." Hana menghapus air matanya, menatap Adam yang menatap mata Hana intens. "Kalau Kakak mau kita sampai di sini saja, tolong pikir dua kali ya. Hana gak mau mengulang, mencari dan melupakan."

"Itu tidak akan terjadi, kan? Kakak tidak akan meninggalkanku, kan?" kata Hana.

"Kakak tidak akan meninggalkanku sendirian, kan? Katakan, katakan." Adam menarik Hana dalam pelukannya, mendekapnya dengan erat lalu berbisik tepat di telinga Hana.

"Tenangkan dirimu, jangan berpikir jika aku akan meninggalkanmu. Karena, itu tidak mungkin."

To Be Continued

Take Me to Jannah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang