"Cha, perut kamu masih sakit?" Haris berjalan menghampiri Acha yang sedang duduk menonton televisi. Gadis itu bersandar di kaki sofa sembari memeluk tubuhnya sendiri sambil satu tangannya sesekali menekan di sisi perut.
Acha menoleh, menatap Haris beberapa detik sebelum menggelengkan kepala dan fokus kembali pada televisi.
"Udah mendingan, palingan sebentar lagi udah sembuh," jawab Acha. Gadis itu berdecak pelan saat televisi menampilkan iklan. Dengan segera satu tangannya cekatan mengganti chanel tv.
Haris mengela nafas ringan saat Acha kembali fokus pada tontonannya. Lelaki itu ikut duduk di karpet berbulu--tepat di samping istrinya.
"Kamu kesakitan gini buat aku khawatir, nih." Haris meraih satu tangan Acha yang masih sibuk menekan perutnya, menggantinya dengan tangannya sendiri--mengusap lembut.
Acha meremang sesaat. Tangan besar Haris yang sedikit kasar dan kaku perlahan menyentuh permukaan perutnya, mengirimkan sensasi mengelitik yang membuat Acha ingin segera menepis tangan Haris namun urung saat usapan itu perlahan membuat dirinya merasa nyaman.
"Kalau lagi sakit gini kamu urusnya gimana?" tanya Haris lagi. Lelaki itu menatap istrinya yang sedang mengalihkan pandangan.
Acha menatap Haris sembari mendengus pelan. "Pertanyaan kamu aneh, Mas. Kalau lagi sakit, ya, di biarin aja. Nanti lama-lama sembuh sendiri. Tapi, kadang tuh sakitnya buat mau nangis, sumpah sakit banget."
Tatapan Haris semakin melembut. Selama menjadi manusia yang berstatus laki-laki Haris tidak pernah tau jika seorang perempuan harus mengalami hal sulit semacam ini. Ternyata perjuangannya memang tidak main-main. Mungkin karena itu salah satu alasan mengapa laki-laki harus menghormati perempuan.
"Hari ini sakit banget?"
"Enggak terlalu." Acha menggeleng. Membiarkan kepalanya bersandar pada bahu sang suami. "Bulan kemarin baru sakit banget."
Satu tangan Haris mengusap kepala Acha dengan lembut kemudian mendaratkan satu kecupan di kening istrinya.
"Lain kali kalau sakit bilang, aku gak suka lihat kamu kesakitan gini." Haris menarik tangannya saat Acha menggenggamnya dengan erat. "Kamu mau minum jamu? Tadi kata bunda kamu sering minum jamu gitu?"
Acha tertawa pelan kemudian menggelengkan kepalanya. "Duh, suamiku lucu banget, sih, kalau lagi khawatir gini." satu tangan Acha terulur, mengusap pipi Haris dengan lembut.
"Aku udah mendingan. Sakitnya udah gak sesakit tadi," Acha merapikan baju kaosnya yang tersikap dan memperlihatkan perut ratanya. "Gak usah minum jamu juga gak papa, aku malahan biasa minum jamu sebelum datang bulan biar waktu datang bulan gak sakit. Eh, ini kemarin kelupaan aja."
Haris mengangguk pelan, kemudian menyandarkan kepala Acha pada dada bidangnya. Lelaki itu tidak berhenti mengusap pundak Acha dengan lembut. Membuat tubuh Acha sedikit meremang dengan jantung jedak-jeduk mengadakan konser dadakan.
"Ris,"
Acha menurunkan tangan Haris dari bahunya.
"Hm, kamu butuh sesuatu?" tanya Haris menegakkan tubuhnya.
"Kamu tiba-tiba manis gini buat aku takut, nih. Kamu gak lagi rencanain sesuatu kan? Mau stop uang jajan aku misalnya atau paling enggak kamu nyuruh aku tidur di kamar tamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Reacha
ChickLitRomance Comedy #Campus series 1 Dalam list kehidupan Acha tidak pernah menuliskan target menikah di umur tertentu. Namun ia sendiri tidak pernah menyangka akan menikah di umur dua puluh tahun apalagi dengan teman dan tetangganya sendiri. Menikah de...