"Bukti pembayaran?" beo Acha sembari memperbesar layar ponsel Haris.
"Atas nama Narafka Adrian." gumam Acha membaca nama pada penerima uang di bukti transaksi pada galeri whatsapp suaminya. "Ini kan nama papa. Kenapa Haris transfer uang ke Papa?"
Acha kembali membaca ulang bukti transaksi itu. Beberapa detik kemudian bola matanya melebar saat menemukan nominal angka yang tertera jelas pada layar ponsel.
"Tujuh ratus juta? Uang sebanyak ini buat apa? Kenapa Haris kirim ke Papa dan aku gak tau?" kata Acha lagi. Gadis itu segera bangkit dari duduknya kemudian berjalan keluar dari rumah menuju taman di sebrang jalan. Ia ingin memastikan hal tersebut dengan menelpon papanya.
Panggilan tersambung namun tidak ada yang menjawab. Sudah tiga kali Acha mencoba namun hasilnya tetap sama saja. Dengan kesal Acha segera menghubungi nomor kakaknya. Hari ini ia harus mendapat jawaban dari uang yang Haris kirimkan.
"Ya, Halo?" suara serak basah Berani terdengar dari sebrang telepon.
Acha menarik napas panjang sembari membendung air matanya yang sudah menumpuk di sudut mata.
"Cha, Halo? Dek, kamu kenapa?" dari sebrang telepon Berani terdengar panik karena Acha tidak juga bersuara.
"Kak..." suara serak Acha terdengar sangat lirih. "Papa ada masalah apa? Kenapa Haris kirim uang ke Papa tujuh ratus juta?" tanya Acha dengan suara pelan. Ia sudah tidak mampu lagi bertanya dengan nada baik-baik saja.
Hening.
Berani di sebrang telepon sepertinya juga sama terkejutnya seperti Acha. Laki-laki itu terdiam sangat lama membuat Acha yang menunggu menjadi ikut khawatir dan merasa takut.
"Papa bangkrut."
Deg.
Detak jantung Acha seperti tiba-tiba berhenti mendadak. Gadis itu meremas ponselnya sendiri dengan satu tangan terkepal kuat.
"Kak, apa aku gak sepenting itu buat gak tau kabar mereka? Kenapa kalian tega sembunyiin kabar sebesar ini?" tanya Acha dengan suara bergetar.
Berani masih terdiam di sebrang telepon. Ia juga merasa bersalah karena menyembunyikan hal sebesar ini. Tapi mau bagaimana lagi ia juga tidak bisa membiarkan adiknya sedih karena memikirkan hal yang bukan urusannya.
"Maaf, Cha. Kakak salah, tapi kakak gak mau kamu ikut sedih dan khawatir."
Acha terdiam. Tatap matanya lurus ke depan dengan sorot kecewa. Hatinya sedih sekali, dia ingi marah namun entah marah pada siapa.
"Kak apa aku gak ada artinya buat kakak? Dan mungkin aja sekarang aku orang terakhir yang tau, ya? Bahkan Haris pun tau dan gak bilang apa pun ke aku. Kenapa kalian sejahat ini sama aku?" tanya Acha. Suaranya terdengar sangat lirih.
"Chacha, dengar kakak. Kita--maksudnya kakak, kak Aurist, Haris dan keluarga kita lainnya lagi bantu Papa. Semuanya akan baik-baik aja. Mungkin, kami hanya butuh waktu untuk menyampaikan berita ini sama kamu." dari sebrang telepon Berani mencoba memberikan pengertian. Namun bukannya menerima Acha malah merasa hatinya kian sesak.
Gadis itu menarik napas berat. Dalam hatinya tidak bisa di sangkal ia sangat merasa kecewa. Apa setidak penting itu dirinya sampai semua orang tutup mulut dari berita ini? Apa pun alasannya Acha tetap saja merasa kecewa. Baginya masalah keluarga adalah prioritas untuknya, meskipun tak ada peran yang benar-benar ada di dalam sana.
"Cha, dek, kamu masih di sana kan? Sekarang dengar kakak. Apa pun yang terjadi, kamu harus percaya. Di sini, di belakang kamu ada kakak. Ada Haris ada kak Aurist juga. Kamu jangan khawatir, kamu bisa cerita apa pun ke kita. Jangan di pendam sendiri nanti kamu bisa sakit. Belajar berbagi sama Haris. Kakak percaya Haris bisa memahami kamu dengan baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Reacha
Chick-LitRomance Comedy #Campus series 1 Dalam list kehidupan Acha tidak pernah menuliskan target menikah di umur tertentu. Namun ia sendiri tidak pernah menyangka akan menikah di umur dua puluh tahun apalagi dengan teman dan tetangganya sendiri. Menikah de...