Chapter 12

1K 109 0
                                    

Sesampainya di rumah Acha masih enggan berbicara dengan Haris. Ia lebih memilih mengurung diri di kamar tamu dan menghabiskan waktu sore untuk menjernihkan pikirannya. Saat ini hati dan logikanya sedang kalut. Ia tidak bisa berpikir banyak. Hanya bisa diam dan merenungi diri seperti ini yang dapat Acha lakukan.

Haris sendiri lebih memilih duduk di sofa ruang tamu, setia menunggu sang istri keluar dari tempat persembunyiannya. Haris sadar ia memang salah. Ia telah menyembunyikan hal sebesar ini dari seseorang yang paling berhak untuk tau. Hanya saja ia juga memiliki alasan sendiri mengapa harus melakukan itu.

Dua jam berlalu Acha masih belum menampakkan batang hidungnya. Haris sendiri sudah terlelap di ruang tamu dengan televisi yang masih menyala. Di luar rumah senja pun sudah berganti menjadi gelap gulita di sepanjang mata memandang.

Sebelum masuk waktu magrib Acha mengendap-ngendap keluar kamar dengan kedua kaki berjinjit tanpa mengeluarkan suara. Gadis itu melirik kiri kanan sebelum memicingkan mata saat menemukan Haris terlelap di sofa ruang tamu. Terbesit rasa bersalah di hati Acha karena mendiamkan suaminya tanpa mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Hanya saja, dirinya bukan tipe perempuan yang bisa menerima hal mengejutkan dengan lapang dada. Apalagi Acha tipe cewek penyendiri yang mempunyai sisi khawatir berlebihan.

Dengan langkah pelan Acha mendekati sofa, tempat di mana Haris tertidur dengan mendengkur halus. Wajah putihnya terlihat sedikit pucat dan di bawah kedua kantong matanya pun menghitam. Ada gurat lelah yang tampak samar di wajah tampan itu. Tidak dapat di pungkiri, hati Acha sekarang benar-benar merasa bersalah. Seharusnya ia tidak perlu mendiamkan Haris seperti ini tanpa mendengar penjelasannya terlebih dahulu. Rasanya ia benar-benar menyesal sekarang.

Melihat Haris tertidur dengan wajah lelah seperti ini Acha selalu teringat dengan masa kecil mereka. Dulu keduanya adalah teman bermain. Hanya saja Haris terlalu kaku untuk ukuran anak kecil yang Periang dan ramah lingkungan. Tanpa sadar sepertinya Acha terlalu terbiasa dengan kehadiran Haris yang tidak pernah menghilang dari kehidupannya. Lelaki dingin itu bagaikan magnet untuk dirinya. Acha sadar sekarang, mengapa dulu ia bersedia menikah dengan Haris.

Perihal pertama, bukan karena Haris adalah teman kecil dan dekat dengan dirinya sejak lama, yang mengetahui segala sifat baik dan buruknya. Perihal kedua juga bukan karena paksaan menikah dari orang tuanya. Bukan juga karena ia berpikir bahwa Haris akan selalu menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan saat ia terjatuh. Namun dulu sekali, Acha hanya ingin bersama Haris. Dia ingi memiliki teman yang tak akan meninggalkannya. Haris memang laki-laki tapi cowok itu bisa benar-benar menjadi teman dan sahabat untuknya dengan tulus.

Sesederhana itu, Acha hanya ingin bahagia dengan seseorang yang menerimanya. Karena bersama Haris ada banyak hal yang bisa ia lakukan tanpa meminta. Haris bisa menjadi sosok lain untuk dirinya sesuai kadar suasana hati.

Acha mengela napas panjang sebelum mendekatkan diri dan menatap wajah Haris dari jarak dekat. Ia mendaratkan kecupan di kening dan pipi suaminya, sebagai simbol dari rasa syukur karena memiliki lelaki sebaik dirinya. Jika bukan bersama Haris entah apa yang bisa ia lakukan sekarang.

Satu tangan Acha terulur, mengusap pipi kanan Haris dengan lembut. Sesekali ia mengusap bulu mata lentik yang menghiasi wajah suaminya.

"Mas, aku minta maaf." Acha berbisik lirih.

Helaan napas Acha berhembus berat. Dia merasa bersalah atas pengorbanan Haris dia malah menyalahkan lelaki itu. Dia tau Haris melakukan yang terbaik untuk dirinya.

"Aku janji hari ini terakhir kalinya aku bilang begitu. Nanti, seberat apa pun masalahnya aku nggak akan bilang kata pisah." Kedua mata Acha kembali berkaca-kaca. Jika tadi Haris mengiyakan ajakannya untuk berpisah mungkin sekarang Acha yang hancur berantakan.

Rembulan ReachaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang