Chapter 15

864 76 0
                                    

Tiga bulan sebelumnya.

"Tumben ngajak ketemuan di sini?" Haris yang baru datang langsung meletakkan ponsel dan kunci mobilnya. Di depannya Acha sudah bersedekap dada menunggu lama.

"Hm, ada sesuatu yang mau aku bicarain!"

Haris hanya mengangguk kecil. Keduanya memilih untuk memesan makanan terlebih dahulu sebelum berbicara hal yang sepertinya akan serius. Ini akan menyita energi keduanya juga waktu yang mungkin sedikit panjang.

"Tadi kenapa nggak nelpon biar pulang bareng aja? Jadi kan nggak perlu janjian di sini," tanya Haris.

"Aku tadi ada keperluan habis kelas Pak Basri jadi langsung pulang terus diajak Rasa main ke rumah barunya." jawab Acha. "Kamu emang nggak pulang sama kak Rereta? Sok banget ngajak pulang bareng, ujung-ujungnya nanti aku di tinggal di pinggir jalan buat pacaran!" Acha mendengus pelan.

Haris menaikkan satu alisnya, mencoba mencerna ucapan gadis di depannya itu. Yang kalau moodnya sedang jelek ia pasti menjadi korban.

"Aku sama Rereta nggak pacaran kok, dia tuh sekretaris BEM jadi ya karena emang dari dulu dekat jadi suka ke mana-mana bareng," jelas Haris.

Acha mengela napas lelah. "Nggak minta dijelasin. Udah kayak selingkuh aja,"

Haris mendengus pelan. Memilih untuk membuang pandangan memperhatikan restoran tempat ia makan siang kali ini. Tak lama pelayan datang membawakan pesanan mereka, keduanya langsung menikmati makanan masing-masing. Tidak ada yang berniat melanjutkan obrolan tadi karena tau akhirnya nanti akan berdebat panjang dan setelahnya mereka akan saling diam sampai satu minggu kedepan.

Setelah keduanya selesai makan siang, Acha terlebih dahulu izin ke toilet. Katanya mau memperbaiki riasan. Mendengar itu kontan saja Haris mendengus pelan. Udah kayak artis aja habis makan langsung cek dandanan.

Setelah Acha kembali keduanya kemudian duduk saling berhadapan, masih seperti sebelumnya. Karena mungkin saja yang dibahas adalah hal serius jadi Haris memilih untuk menunggu.

"Hm," Acha berdehem pelan. Mencoba mencairkan suasana. "Kamu pasti udah dengar soal perjodohan kita. Aku nggak mau basa-basi. Kalau kamu mau nolak silahkan!" ucap Acha.

Haris diam. Memandangi wajah Acha yang datar tanpa ekspresi.

"Kamu gimana? Pernikahan itu bukan hanya aku aja yang terlibat. Kamu juga!" ucap Haris. Nada bicaranya berubah dingin.

Acha mengangkat bahunya, menggeleng pelan. "Kamu tau aku manja banget dan nggak mungkin bisa hidup dalam kekangan. Pernikahan kita... Sedikit nggak mungkin mengingat kita udah temenan dari bayi. Jadi jawaban aku terserah kamu, toh kamu sudah kenal aku setara sama umur hidupmu sendiri. Kamu tau banyak kekurangan dan kejelekanku. Jadi, aku ikut keputusan kamu!" jelas Acha. Dalam satu tarikan napas Acha mampu menyelesaikan kalimatnya.

Haris berpangku tangan. Sebelumnya ia sudah menduga bahwa Acha akan membicarakan hal ini.

"Aku tanya jawaban kamu bukan pendapat!" ucap Haris. "Kalau cuma pendapat aku nggak akan tanya ke kamu. Jadi, kamu mau nikah sama aku?"

Saat itu Acha tidak menyadari bahwa ucapan Haris adalah lamaran yang di ucapkan secara terang-terangan dan tidak ada romantis-romantisnya sama sekali!

Acha menaikkan satu aslinya ke atas. Seolah tertantang dengan pertanyaan Haris. "Sekarang aku balik pertanyaannya, memang kamu mau nikah sama aku? Sama cewek manja yang hobbi banget nangis sama habisin uang? Emang kamu nggak sayang seumur hidup cuma jagain aku? Nggak akan merasa nyesal suatu saat nanti kalau ternyata pernikahan kita hancur berantakan karena aku bukan sebuah pilihan?" Acha memilih untuk mengalihkan pandangan. Enggan menatap lelaki yang beberapa hari lalu sudah beralih status menjadi calon suaminya itu.

Rembulan ReachaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang