Chapter 8

1.1K 110 0
                                    


POV Acha

Aku berjalan santai menyusuri koridor fakultas hukum sesekali melempar senyum ramah pada beberapa orang yang kebetulan menyapa. Beberapa dari mereka menatapku sembari berbisik entah sedang membicarakan apa. Aku tidak ambil pusing, toh setiap persepsi manusia jelas berbeda setiap otaknya.

Saat sampai di tepi lapangan bola langkah kakiku terhenti saat seseorang berdiri menjulang tinggi di hadapanku dengan senyum super manis. Ardika Pratama--anak jurusan prikologi yang beberapa kali pernah menyapaku saat kumpul bersama anggota Hima. Entah apa yang membawanya sampai di hadapanku tetapi aku hanya bisa membalasnya dengan tersenyum kecil.

"Acha, Are you busy?"

Aku menggeleng pelan. Mengamati keadaan sekitar yang ternyata banyak mahasiswa terang-terangan menatap ke arahku. Ternyata kabar bahwa Ardika populer dengan senyum pamungkasnya memang tidak main-main. Terbukti dengan beberapa orang yang tidak berkedip saat Ardika masih menatapku dengan senyum manisnya.

"Nope. Gue masih ada waktu setengah jam sebelum kelas di mulai. Kenapa?"

Ardika semakin tersenyum lebar. Ia mengangguk kecil sembari mengusap dagunya seperti berpikir sejenak.

"Gue cuma mau ajak lo makan siang bareng. Gimana?" ucap Ardika masih dengan wajah setenang telaga. Ah, ternyata berbicara dengan orang yang pandai mengatur suasana memang semenyenangkan ini. Dari tatapannya saja aku tau jika Ardika benar-benar terlihat tenang dengan gayanya yang ramah namun tetap cool.

Aku kembali mengulang ingatan. Maka siang bersama Ardika? Sebenarnya tidak buruk juga. Bukan merasa tidak enak untuk menolak hanya saja aku merasa kurang nyaman.

"Boleh. Mau langsung sekarang?" tanyaku menyanggupi permintaannya.

Wajah Ardika semakin berbinar senang. Lelaki di hadapanku ini langsung mengangguk pelan kemudian mempersilakan aku untuk jalan terlebih dahulu. Sebelum benar-benar sampai di pintu kantin aku menyempatkan diri untuk mengirimkan pesan singkat kepada Haris, bahwa siang ini aku makan siang bersama Ardika.

"Silahkan," Ardika menarik kursi kemudian kembali mempersilakan aku untuk duduk.

"Mau makan apa, Cha?" tanya Ardika. Laki-laki itu rupanya tidak langsung duduk di hadapanku. Dengan gentle selayaknya pangeran yang melayani tuan putri ia menungguku memilih pesanan. Benar-benar seorang laki-laki pengendali.

"Umm, bakso? Minumnya es jeruk aja"

Ardika mengangguk pelan kemudian berpamit pergi hendak memesankan makanan. Sepergian laki-laki itu aku langsung mengeluarkan ponsel dan membaca balasan pesan dari Haris. Ternyata oh ternyata suamiku ini sejak tadi sudah ada di kantin. Terbukti dengan balasan pesan yang ia kirimkan.

Suami
Hm.
Tumben kasih tau biasanya juga gak pernah. Tapi thank you, Cha. Kamu buat aku menepis salah paham.

Aku mengulas senyum lebar kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin. Di sebrang meja aku langsung bertatapan dengan Haris yang ternyata juga sedang menatapku. Entah sejak kapan ia sudah berada di sana namun keberadaan teman-temannya membuatku yakin jika ia sudah lama berada di sini.

Perlahan Haris tersenyum tipis, ia mengedipkan satu matanya kepadaku. Entah apa maksudnya tapi aku bisa merasakan rambatan rasa hangat yang berkumpul di kedua pipiku. Secara otomatis aku langsung mengalihkan pandangan pura-pura sibuk dengan ponsel.

Rembulan ReachaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang