Chapter 20

813 69 3
                                    

Hai, aku update!

Agak 17+ ya.

Selamat membaca

•••

"Bun, seriusan Acha cuma bawa koper sekecil ini?" Acha menatap koper kecil yang baru saja Bunda Cecilia bawakan. "Udah ada bajunya Mas Haris juga?" tanyanya lagi.

Bunda Cecilia mengulum bibirnya menahan tawa. Sebisa mungkin dia bersikap biasa saja.

"Sudah, sayang. Kata suamimu nggak perlu bawa baju banyak-banyak, nanti bisa beli." ucap Bunda Cecilia.

Acha mengangguk pelan dan segera membawa koper itu mendekati mobil. Di sana sudah ada Haris yang tengah bercakap-cakap dengan orang tuanya.

"Acha nanti jangan lupa mampir ke rumah Oma. Kemarin Opa bilang mereka lagi liburan ke Bangkok." Dasha menyambut putrinya dengan pelukan. Hubungan mereka belum membaik, Acha masih suka menghindar dan enggan berbicara lebih banyak.

"Iya, Ma. Nanti kami pasti mampir." ucap Haris mewakili istrinya.

"Jaga Acha, ya, Ris. Kalau sudah sampai kabari,"

Haris kembali menganggukkan kepalanya. Dia merangkul bahu sang istri yang sejak tadi banyak diam itu.

"Ada yang ketinggalan?" tanya Haris. Acha menggeleng dan tersenyum kecil.

"Ini isinya apa, sayang. Kok di tinggal di meja regist?" tanya Bunda Cecilia menenteng sling bag milik Acha.

"Eh, itu punya Acha, bun. Ketinggalan, hehe."

Bunda Cecilia menggeleng gemas. Sebelum berangkat mereka menyalimin para orang tua itu satu persatu.

"Hati-hati di jalan, Sayang. Haris istrinya dijaga."

"Iya, Bun. Pasti. Kita berangkat dulu, ya?"

"Iyaa, Have fun sayang. Oleh-olehnya jangan lupaa. Bunda sama Mama minta Cucu."

Acha mengalihkan wajah dan segera masuk ke dalam mobil. Disusul Haris yang terkekeh geli melihat istrinya itu.

"Langsung berangkat, Mas?" tanya Pak Hardi, sopir keluarga Haris yang akan membawa mereka ke bandara.

"Iya, Pak. Langsung aja,"

Pak Hardi mengangguk dan segera menjalankan mobilnya. Sebelum benar-benar jauh keduanya sempat melambaikan tangannya pada para orang tua yang terlihat sangat bergembira itu.

"Beneran mau mampir ketemu Oma sama Opa?" tanya Acha saat mobil sudah membelah jalanan.

Haris mengangguk kecil, dia mendekap tubuh Acha agar bersandar padanya.

"Sudah lama nggak ketemu, kan? Sekalian silaturrahmi, Oma sama Opa pasti kangen sama cucunya ini,"

Acha mengangguk kecil. Tatapan matanya menyendu menatap jalanan.

"Jangan tidur dulu, ya? Perjalanan masih panjang. Nanti tidur di pesawat aja," ucap Haris mengusap rambut istrinya.

Acha mendongak dan menatap sang suami.

"Mama sama Papa belakangan nggak ada bahas tentang kerja. Mereka ketemu aku dan aku selalu menghindar. Aku masih kecewa, masih merasa ada yang salah dengan keluargaku." Acha menghela napas panjang. Bersandar di bahu berotot suaminya. "Kak Aurist... "

Acha tak dapat melanjutkan kata-katanya. Nyatanya seikhlas apa pun melepaskan kepergian Aurist, Acha kerap merasa sesak. Sesak karena harus terlahir dari keluarga yang toxic.

Haris mendekap tubuh Acha dari samping, dia kecup pelipis gadis itu berulang kali. Diam mendengarkan Achanya bercerita.

"Kak Aurist pernah bilang kalau dalam didikan Mama dan Papa mereka selalu memperlakukan kita, anaknya, layaknya orang dewasa. Tapi..." Acha menjeda kalimatnya. Dia menghela napas pendek, wajahnya disembunyikan di ketiak sanh suami. "Aku bahkan belum dewasa saat itu, Mas. Aku masih sangat kecil."

Rembulan ReachaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang