Chapter 13

1.2K 116 3
                                    

Pov Haris

"Jadi... "

Aku menaikkan sebelah alisku penuh tanya. Dari sepanjang kalimat yang aku ceritakan istriku masih saja meminta kesimpulan. Padahal aku yakin dengan otak pintarnya itu ia tidak perlu lagi bertanya dan menatapku seperti tersangka. Lihat saja nanti, kesalahanku yang ini pasti akan menjadi ancaman sampai satu minggu ke depan.

"Jadi apa lagi, Cha? Aku kan udah jelasin semuanya!"

"Ih maksudnya jadi habis itu gimana, kan tadi kamu cerita dua minggu lalu orang yang berinvestasi di perusahaan Papa menarik sahamnya lah terus kamu bilang juga Papa di fitnah sama orang yang jadi saingan bisnis Papa. Terus?"

"Ya, habis itu Papa kasih tau kabar ini ke kak Berani buat bantu cari tau kebenarannya. Tapi syukurnya salah paham itu lekas membaik jadi kemarin aku cuma bantu aja, uang segitu juga gak berarti banyak buat Papa kan?"

Acha tampak menatapku tidak suka. Gadis yang sudah berstatus menjadi istriku dua bulan terakhir ini berpindah duduk di sampingku dengan bersedekap dada, menatap penuh selidik.

"Aku jadi curiga, sebenarnya kerja kamu selain bantu Ayah Michio di perusahaan tuh apa sih Mas? Kamu enggak pelihara tuyul kan?" tanya Acha dengan kedua mata membola lucu membuatku tidak tahan melihat ekspresinya yang menggemaskan itu.

"Iya aku pelihara tuyul."

"Hah, beneran?"

Aku mengangguk malas.

"Mana mas? Aku takut nanti tuyul kamu curi aku... "

Aku menatapnya dengan satu alis terangkat. Sejak dulu Acha memang pintar bahkan saat sekolah dulu ia selalu menduduki peringkat pertama saking cerdasnya. Hanya saja gadis yang menjadi istriku ini sedikit lemot. Sangat mudah di bodohi padahal dengan otak cerdasnya itu seharusnya ia lebih pintar membedakan banyak hal.

"Kamu tuyulnya. Udah, jangan mikir yang aneh-aneh. Lama-lama kamu juga makin aneh."

Acha bersedekap dada dengan bibir mengerucut kesal. Sialnya dengan ekspresinya yang seperti itu aku ingin sekali menciumnya. Bodoh, semakin lama tinggal berdua dengan Acha pikiranku semakin liar saja apalagi di tambah harus tidur berdua dengan Acha, hidupku terlalu banyak mendapat ujian setelah menikah satu bulan belakangan.

"Ini kamu udah siap belum sih, bentar lagi jam delapan. Aku ada bimbingan lima belas menit lagi loh."

Acha langsung berdiri di hadapanku. Ia meraih tas kecilnya sembari memeluk buku. "Udah dari tadi aku siap nih. Gara-gara cerita kamu aku jadi parkir di sini."

Aku memutar bola mata malas. Lagian sejak semalam yang nangis-nangis gak terima dan ingin di ceritakan juga siapa. Sekarang giliran aku duduk bercerita ia juga tetap menyalahkan aku. Laki-laki memang selalu salah, aku paham itu melalui riwayat hidupku selama bersama Acha.

"Yaudah yuk!"

"Bentar," Acha mencekal lengan tanganku. Gadis itu terlihat menyeritkan kening dengan kedua alis bertaut.

"Kenapa lagi?"

Acha hanya diam saja dengan kedua mata masih menatap ponselnya. Ia kemudian mendongak menatapku dengan satu alis terangkat.

"Ris, kamu tau gak sih kalau aku pernah pacaran?"

Aku balas menatapnya dengan datar. Sejauh ini kehidupan Acha memang berada di bawah pantauanku. Tentu saja masalah sepele seperti itu aku sudah mengetahuinya sejak lama.

"Jawab ih,"

Aku berdecak malas, meraih satu tangannya kemudian membawanya keluar dari rumah. Setelah mengunci pintu rumah dan memastikan istriku duduk dengan tenang aku langsung duduk di kursi kemudi dan melajukan mobil menuju kampus. Walaupun jarak rumah dan kampus terbilang cukup dekat tetapi tetap saja jika meladeni cerita dan pertanyaan Acha percayalah, aku akan telat masuk kelas.

Rembulan ReachaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang