Setelah menjalani masa percobaan selama dua bulan lamanya kini Haris resmi menjadi pegawai di kantor ayahnya, tentu tidak dengan posisi tinggi. Dia sama seperti karyawan biasa yang mendaftar saat bersamanya. Bedanya, dia sudah dapat mengikuti perjalanan bisnis dan mengerjakan beberapa kasus perusahaan.
Sama halnya kesibukan Haris selama satu minggu belakangan ini yang super sibuk bahkan tak jarang harus lembur sampai pulang larut, Acha pun sama sibuknya menyambut UTS, tugas dan berbagai proyek bersama teman dan para dosen. Keduanya tetap bertemu di malam hari dan kemudian pagi harinya tetap sibuk dengan urusan masing-masing. Tentunya di masa sibuk begini, keduanya tetap meluangkan waktu untuk deep talk atau jalan kencan kemana pun.
Keduanya benar-benar tengah berada di masa sulit karena jelas saling membutuhkan dukungan. Contohnya pada saat ini, Haris kalah dalam masa percobaan kedua sebagai karyawan tetap setelah satu minggu berjuang mati-matian mengerjakan tugas kantor yang menumpuk, akhirnya pria itu jatuh sakit. Demam, mual dan lemas, bahkan untuk bangkit dari tempat tidur saja tidak bisa. Acha pun terpaksa izin kuliah dan mengikuti UTS susulan. Tentu saja, Haris tetap prioritas mengingat sulitnya lelaki itu ditangani saat jatuh sakit.
"Gimana, masih mual?" tanya Acha khawatir.
Haris yang kini sudah bersandar lemas di ranjang langsung menghela napas berat. Kepalanya mengangguk tak bersemangat. "Mual sampai rasanya nggak sanggup berdiri."
Acha mendengus lirih. "Makanya, ayo ke rumah sakit, Mas! Kamu butuh dokter ini, aku juga nggak tega lihat kamu lemas kayak begini!"
"Chaaa," Rengek Haris menggeleng lemah dengan tatapan memelas.
"Kenapa lagi?"
"Nggak suka bau disinfektan, pokoknya nggak suka bau rumah sakit. Muaal," rengeknya lagi. Kini keduanya saling tatap dengan ekspresi berbeda.
"Yaudah nanti pakai masker!"
"Chaaaa," rengek pria tinggi besar yang tak punya tenaga itu.
Acha hanya bisa menghembuskan napas panjang, mengalah kemudian duduk di tepi kasur. Tangannya terulur menyentuh kening sang suami untuk mengukur suhu tubuh.
Demamnya sudah menurun namun lelaki itu masih sangat lemas. Acha khawatir suaminya itu sampai dehidrasi mengingat seminggu belakangan menge-push tenaga untuk cepat menjadi karyawan tetap, yang berakhir kalah dan kini jatuh sakit.
Acha tak tega melihat suaminya itu. Meski tak menampakkan betapa kecewanya seorang Haris, tapi mengenal lelaki itu selama bertahun-tahun Acha paham Haris tak mau membuatnya khawatir. Kekecewaan suaminya itu pasti ditelannya sendiri, tak membiarkan Acha melihat atau barang kali memberi hiburan.
Haris yang seperti ini membuatnya kuwalahan.
"Yaudah, kamu sekarang istirahat. Obatnya sudah diminum kan?"
Haris mengangguk, kini tubuhnya perlahan tiduran di kasur dengan Acha merapikan selimut, menutup keseluruhan tubuh lelaki itu sampai sebatas dagu.
"Pengen makan seblak," katanya menghentikan gerakan Acha mengatur suhu penghangat ruangan. Kedua alis Acha bertaut bingung sambil menatap remeh suaminya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Reacha
ChickLitRomance Comedy #Campus series 1 Dalam list kehidupan Acha tidak pernah menuliskan target menikah di umur tertentu. Namun ia sendiri tidak pernah menyangka akan menikah di umur dua puluh tahun apalagi dengan teman dan tetangganya sendiri. Menikah de...