Part 10

3.1K 180 2
                                    

Mata gadis itu take lepas dari mobil tetangga yang barusan ia tumpangi. Dia berbalik menatap ke arah rumahnya lalu memunduk tatkala sang Ayah yang melihat dirinya.

Zua menghela napas panjang, menghapus jejak air mata di pelupuk matanya yang meninggalkan warna yang terkesan agak kemerahan. Dia tahu kalau setelah ini Ayahnya akan mengintrogasi, memikirkannya saja dia lelah.

Pikirannya masih terus memikiran kejadian yang baru saja dia alami. Bukan Saras, tetapi sikap Egi yang tiba-tiba seperti itu. Beberapa jam lalu masih biasa saja, tapi kenapa setelah ada orang yang memperlakukan dirinya begitu, Egi terkesan menjauh.

Selama ini persahabatannya baik-baik saja, perasaan Zua kali ini dominan dengan kecewa dan bingung. Kecewa karena orang yang paling dekat dengannya setelah keluarga tidak menolong Zua. Dan bingung karena perubahan sikap yang tiba-tiba.

“Zua.”

Dia mendongak, saat itu juga manik matanya yang sendu bertubrukan dengan netra sang Ayah. Mata Zua memanas, dia menggeleng meyakinkan Ayahnya kalau dirinya baik-baik saja.

Tanpa diminta, air mata gadis itu jatuh di pelupuk matanya yang kembali membanjiri pipi dengan bahunya ikut bergetar. Kilasan-kilasan kejadian tadi berputar lagi bak kaset rusak. “A-aku b-baik aja, Yah. Aku baik-baik a-ja ....”

Rafi yang melihat hal itu mendekat dan mendekap anaknya, mengusap punggung putri satu-satunya dengan penuh sayang. Siapa yang berani-beraninya membuat Zua menangis? Dirinya saja tak pernah membuat Zua menangis sekalipun itu.

Melihat rambut anaknya yang begitu berantakan, apalagi baju seragamnya yang basah dan berwarna, pria paruhbaya itu jelas tahu apa yang terjadi pada Zua. Dengan menghela napas panjang, Rafi mencoba menenangkan dirinya sendiri yang dilanda rasa emosi.

Rafi merapikan rambut anaknya dengan tangan kanan seraya berucap, “Cerita sama Ayah, oke?”

“Zua ng-gak papa, A-yah.” Gadis itu menjawab dengan pelan. Susah rasanya mengucapkan kalimat saat dirinya menangis. Air mata Zua terus berlomba-lomba keluar, dengan isakan yang tertahan.

“Ssttt... Putri ayah jangan nangis. Sejak kapan jadi cengeng?” Rafi menepuk-nepuk punggung Zua pelan lalu mengecup rambut bagian atasnya. “Sana masuk, mandi dulu baru istirahat.”

Zua melepaskan pelukannya, menghapus air matanya walau kembali membasahi pipi. Gadis itu masuk ke dalam rumah, meninggalkan sang Ayah yang menghela napas kasar.

Teguh yang sedang duduk di lantai dan mendengar langkah kaki pun mengernyit, melihat kearah Zua yang melewatinya dan berjalan dengan kepala yang menunduk. “Kak?”

Sang empu tak menjawab membuat Teguh yang tengah selonjoran di depan televisi bangkit mengejar. “Kakak! Kenapa?”

“Kak! Bilang sama Teguh ...,” Adiknya itu menjeda ucapannya seraya menahan tangan Zua, lalu membalikkan badan agar berhadapan dengannya. “Siapa yang buat kakak jadi kayak gini?”

Zua menggeleng, melepaskan tangan Teguh. “Kakak capek ... nanti kakak cerita kok kalau kakak mau.”

Teguh menatap nanar Zua yang masuk ke kamarnya. Apa yang terjadi pada kakaknya?

-——-

Zua mengikat tali sepatu, dia bangkit lalu menutup pintu gerbangnya. Hari ini dia akan memilih berjalan kaki, karena waktunya masih terbilang pagi. Zua yakin Egi tak akan menjemputnya, jika memilih bersama sang Ayah dia pasti diberi pertanyaan beruntun.

Gadis itu mengikat rambutnya ekor kuda. Mencoba menikmati penampilannya, agar tak terganggu oleh rambut yang terus beterbangan menghalangi matanya yang masih kentara bengkak bekas menangis kemarin.

Destiny (Complete)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang