Suasana kamar Zua begitu hening, walaupun perempuan itu tengah berada seorang diri di ruangan itu. Rambut lurus sebahu dibiarkan tergerai bebas. Kepalanya ditelungkupkan di lipatan tangan.
Earphone putih terpasang sempurna pada telinga dengan alungan musik yang terdengar merdu. Garis pendek jam sudah menunjuk ke arah angka sembilan. Namun gadis itu tidak beranjak sedikitpun di meja belajar.
Tidak sekolah. Ya. Zua tidak pergi ke tempat itu. Bahkan dirinya tidak memberikan alasan apapun. Meski Bunda atau siapapun bertanya, dia hanya menggeleng sebagai jawaban.
Alasan utamanya hanya satu, yaitu, tidak mau bertemu dengan laki-laki yang berstatus sebagai sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Egi.
Earphone di telinganya tiba-tiba saja terasa dilepas. Zua mengangkat kepala, menoleh ke samping, karena merasa terganggu. Dirinya berdecak malas setelah mendapati laki-laki yang dihindarinya tengah berdiri dengan seragam putih abu yang tidak rapi.
“Gue tungguin lo di sekolah, tapi ternyata nggak dateng-dateng.” Egi menempatkan tangannya di dahi Zua. Raut wajah laki-laki itu terlihat jelas menggambarkan bagaimana khawatirnya. “Lo sakit, Zua?”
Zua menyentak tangan Egi. “Bisa nggak sih jangan pegang-pegang?!”
“Gue takut lo kenapa-napa, Zu.” Perasaan khawatirnya bertambah kala dahi perempuan itu terasa panas. Dari bibir yang pucat dan wajah yang terlihat lemas, sudah jelas Zua tengah sakit. “Ikut gue ke rumah sakit, oke? Jangan pentingin ego lo, kesehatan lo jauh lebih penting daripada itu.”
Saat sudah seperti ini ego dirinya tidak bisa diajak kompromi. “Aku bakal sehat kalau kamu pergi dari sini. Pergi dari kamar aku, Gi. Pergi!” Gadis itu berteriak seraya menunjuk pintu kamar yang sudah terbuka lebar sejak kedatangan laki-laki itu.
“Gue udah bela-belain datang kesini dan lo malah ngusir gue?”
“Egi!”
“Lo lagi sakit, jangan marahan dulu!” Egi ikut emosi sebab Zua yang tidak mau menurut. Dia berjalan ke arah jendela kamar Zua yang terbuka dan menutup rapat, tidak membiarkan angin masuk. “Tiduran di kasur kalau lo nggak mau ke rumah sakit. Berhubung bunda lo nggak ada, gue yang bakal urus makanan sama obat lo.”
Tangan Zua terangkat, mengkode Egi agar tidak berbicara. “Jaga batasan, kamu cuman sahabat, bukan berarti kamu bebas bertingkah semau kamu di rumahku.”
Bukannya mendengarkan, Egi malah mengambil selimut Zua kemudian dia bungkuskan ke tubuh sang sahabat dengan paksaan. Karena Zua malah akan melepaskannya.
Laki-laki itu menyeka keringat di pelipis Zua seraya menghela napas berat. “Kalaupun sekarang keluarga lo ada di rumah ... mereka nggak akan larang gue buat rawat lo. Karena mereka tahu, gue khawatir sama kesehatan lo.”
“Sekarang kamu bisa pergi.” Zua meremat kuat selimut itu dari dalam, jujur tubuhnya benar-benar kedinginan sekarang.
Laki-laki itu mengedikan bahunya seraya berjalan keluar.
Baru setelah punggung lebar milik Egk menghilang di pandangan, Zua menutup seluruh tubuhnya dengan selimut hingga wajahnya ikut dia tutupi. Entah dari kapan dirinya mulai merasakan pening di kepala.
Keringat panas dingin bercucuran, Zua semakin merapatkan dengan posisi yang masih duduk di kursi. Lama kelamaan matanya memberat, dia memejamkannya hingga tak sadar dia tertidur.
Dari balik pintu kamar, Egi belum sepenuhnya pergi dari rumah. Dia mengintip sahabatnya, sudut bibirnya tertarik karena tidak ada lagi pergerakan Zua.
Egi membuka selimut Zua sedikit, dilihatnya lamat wajah berkeringat gadis itu. “Dibilangin jangan tidur di kursi, lo ngeyel jadi orang. Udah tahu sakit, sok keras kepala lagi. Kalau gini 'kan lo sendiri yang repot, Zu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...