Raga
|Bisa ketemu?Gadis itu terpaku beberapa saat menatap pesan yang beberapa menit lalu masuk ke handphone nya. Bukankah Raga masih menyalahkan dirinya atas luka yang Saras dapatkan? Apa laki-laki itu akan meminta maaf soal penamparan kemarin yang masih membekas di pipi begitu juga di hatinya, pikirnya terus bertanya.
|Dimana?
|Taman sekolah, sebelum bel istirahat bunyi.
Zua menatap jam di tangannya, empat belas menit lagi bel istirahat berbunyi, itu artinya Raga sudah menunggu. Sementara di depan seorang guru tengah menerangkan. Tak lama handphone gadis itu kembali bergetar.
|Aku udah di taman, kalau bisa sekarang
Zua menyimpan benda pipih itu ke dalam saku rok abu nya. Dia mengangkat tangan sebelah kanannya. “Pak.”
“Iya, kenapa Zua?” Guru itu menatap Zua seraya mengangkat kedua alisnya.
“Ijin ke kamar mandi.” Zua berjalan keluar kelasnya saat melihat anggukan dari guru itu. Dia kembali melirik jam tangan berwarna abu miliknya lalu berlari kecil ke arah taman.
Egi yang sedari tadi diam menatap gerak gerik Zua di depannya. Jelas sekali laki-laki itu tahu, karena tak sengaja melihat notif apa yang masuk hingga membuat Zua tak fokus dalam pelajaran.
“Ijin, ya, Pak.” Egi berjalan begitu saja, bahkan tanpa menunggu persetujuan dari guru. Netra tajamnya memandang lurus pada Zua yang beberapa meter dari arahnya. Langkah kaki dia lebar mencoba menyamakan dengan langkah Zua. “Maaf.”
Gadis itu menatap tangannya yang di tahan oleh tangan kekar Egi kemudian menatap raut muka datar namun tersirat akan penyesalan. “Apa? Ada urusan apa lagi? Mau ikutan Raga yang nyalahin aku karena Saras dibawa ke rumah sakit?”
Egi tak menjawab, tapi laki-laki itu menarik dirinya ke arah gudang. “Gue minta maaf.”
“Kamu nggak salah, malah yang kamu lakuin itu bener. Aku pantes digituin sama kamu, jadi kamu nggak perlu minta maaf,” jelasnya sekali-kali mengangguk. Dia menarik paksa tangannya yang masih digenggam oleh Egi.
“Gue salah, karena itu gue minta maaf, Zua. Gue gak bakal lakuin itu tanpa alasan, tapi gue bener-bener ngakuin kesalahan gue.” Raut muka datar kini berganti jadi raut muka penuh penyesalan, kedua tangannya pun dirapatkan dan diangkat mencoba meyakinkan Zua, bahwa dirinya benar-benar memohon maaf.
“Kamu lakuin itu karena alasan, ya? Kasih tahu aku,” ujar Zua dengan menunjuk dirinya sendiri. “Alasan apa yang buat kamu rela ninggalin aku pas aku butuh pertolongan.”
Bibir laki-laki itu terkatup rapat tak lama gelengan kepalanya menjelaskan semuanya. “Nggak bisa.”
Zua memejamkan matanya seraya mengambil napas panjang-panjang, tubuhnya bersender pada dinding gudang. “Kamu tahu, Gi? Kata maaf kamu ... nggak bisa ngobatin hati aku yang udah terlanjur kecewa, kejadian aku yang tiba-tiba dijambak Saras. Juga dicaci orang-orang kafe, sering muter di pikiran aku gitu aja akhir-akhir ini. Aku kecewa, sama sikap kamu yang berubah. Seberapa lama kita sahabatan, sih, Egi?”
“Gue minta maaf.” Laki-laki itu memandang kosong dan termangu akan kalimat-kalimat Zua yang menohok hatinya. “Gue janji bakal kasih tahu alasannya, tapi nanti. Sekarang belum saatnya.”
“Aku benci diri aku sendiri. Kenapa hati aku yang kecewa, tapi kalimat permintaan maaf kamu masih bisa aku terima.”
Egi mengerjapkan matanya. Ketika melihat gadis itu mengukir senyum lantas dirinya menarik Zua ke dalam dekapannya saat sadar kalau sahabatnya ini telah memaafkan dirinya. Kepalanya berada di atas bahu Zua yang tingginya berada dibawahnya. Meski dia tahu alasan apapun yang belum terucap oleh bibirnya bisa saja memungkinkan kalau Zua akan kembali seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...