Zua menghela napas kasar berkali-kali karena Raga yang tidak mau melepaskan rangkulannya. Sejak tadi pagi laki-laki itu tak mau jauhan sedikit pun dari Zua. Meski sempat bersikap kesal karena bel masuk berbunyi.Sekarang mereka berdua berada di kantin sejak bel istirahat sudah berbunyi. Baru saja dia keluar dari pintu kelas, dirinya sudah disuguhkan oleh Raga yang menyengir kuda.
“Lepasin.”
Raga terdiam beberapa menit seraya menatap dirinya datar. Rangkulan tangannya sudah Zua lepaskan. Dia beralih menggenggam tangan Zua kemudian melanjutkan makan.
“Raga.”
“Takut kamu pergi lagi, Zua.”
Zua melirik ke mangkuk di depannya lalu ke arah tangannya. Jika tangan kanannya digenggam, bagaimana dirinya bisa makan?
“Aku makan gimana?” tanyanya sembari melepaskan tangan Raga.
Raga menggeleng cepat, menggenggam kembali tangan Zua sedikit erat. Dia mengambil alih bakso Zua kemudian satukan dengan bakso miliknya. Raga memotong kecil bakso itu dan mendekatkan ke arah mulut Zua yang langsung diterima baik olehnya. “Gini 'kan enak.”
“Kasih sambal dikit, Ga,” pintanya pada Raga.
Laki-laki itu langsung menurutinya tanpa banyak bicara.
Dia menyuapi Zua kembali dengan sesekali ia menyuapkan bakso itu ke mulutnya tanpa rasa jijik sedikit pun.
“Pulang sekolah harus ikut aku.”
“Kemana?”
Raga tersenyum manis. “Ikut aja pokoknya,” ujarnya sembari mengacak rambut Zua.
Zua terdiam, menatap tangan Raga yang barusan mengacak rambutnya. “Ga, tangan kamu 'kan bekas bakso ...”
Laki-laki itu menyengir kuda, baru menyadari apa yang sudah dilakukan olehnya. Dia mengacak lagi rambut Zua. “Parfum rambut kamu kalah sama wangi bakso. Kamu nggak perlu makan lagi, cium rambut sendiri aja pasti udah kerasa kenyang.”
Zua memukul Raga hingga membuat laki-laki itu sedikit meringis kemudian tertawa. “Dikira rambut aku makanan apa?”
Dia ikut tertawa karena tertular tawa Raga yang masih belum berhenti.
“Raga.”
Sang empu menatapnya dengan kening berkerut, mulutnya bergerak mengucapkan 'apa?' tanpa suara. Hari ini Zua kembali mendengar Raga yang tertawa lepas seperti dulu saat mereka selalu bersama, sebelum adanya Saras. Nada yang mengalun selalu menjadi candu, hingga membuat dirinya tersenyum dikala mengingat semua hal itu.
Zua yakin, hubungannya dengan Raga pasti minim konflik, jika saja tidak ada Saras. Dia tahu kalau semua orang memiliki masalah masing-masing, dimana mereka harus merasa sadar diri apa yang membuatnya jadi seperti ini.
“Kenapa nggak samperin Saras kayak biasanya?” Zua bertanya dengan tenang, kepala perempuan itu berada di atas meja dengan tangannya yang masih digenggam sebagai bantalan kepalanya.
“Kamu mau aku sama dia? terus aku tinggalin kamu sendiri lagi?” tanyanya yang dibalas gelengan dari Zua. “Udah cukup ... aku nggak mau bikin kamu tambah sakit lagi karena aku. Jangan bahas dia, ya. Aku tahu hati kamu nggak kuat tiap kali aku ceritain dia di depan kamu. Sekarang aku lagi sama kamu. Yang artinya cukup bahas kita berdua aja, jangan orang lain. Kamu ya kamu, orang yang pertama aku kenal di sekolah ini sampai aku jatuh cinta sama seorang Zua tanpa sengaja.”
Raga tersenyum setelah mengucapkan itu.
“Kalau aku minta pergi lagi, kamu mau apa?” Zua bertanya ketika pertanyaan itu datang tiba-tiba di pikirannya. Entah kenapa dia merasa seolah pertanyaan itu bisa saja terjadi lagi padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...