Part 36

2.2K 95 1
                                    

Dengan langkah santai seorang laki-laki berambut blonde mendekat ke sebuah rumah, di kedua tangannya menjinjing kantong. Netra tajam laki-laki itu menangkap gembok pagar besi yang terbuka membuat dirinya memasuki rumah itu dengan senang hati. Kakinya bergerak mendorong pintu rumah, namun baru saja dia menginjakkan kaki ke dalam, suara bariton menghentikan pergerakannya.

“Ada perlu apa ke sini?”

Kening laki-laki itu berkerut bingung, menatap pria paruhbaya dengan sebuah gelas di tangan kanannya, dia berada tak jauh dari arahnya berdiri sekarang.

“Ya, main. Biasanya 'kan sering ke sini, pertanyaan Om bikin bingung aja,” balasnya diakhiri kekehan, walau raut dari lawan bicaranya datar tanpa ekspresi. Dia melihatnya begitu jelas.

“Om nggak ngerasa mengundang kamu ke sini. Jadi, kamu bisa pulang kembali. Teguh dan Zua juga nggak akan om biarin menemui kamu lagi. Silahkan pergi selagi om masih bersikap baik.” Rafi menunjuk ke arah pintu.

Egi menggaruk belakang kepalanya bersamaan dengan alis yang mengernyit. Apakah barusan sambutan agar membuatnya terkejut atau tengah memainkan sebuah drama? Tapi, seingatnya Rafi bukan tipikal orang yang mudah bercanda.

Tanpa meminta persetujuan ia duduk di salah satu sofa ruang tamu dengan santai. “Egi nggak suka drama, om. Lain kali aja, kalau udah suka baru mainin drama kayak barusan. Oh, iya, dimana Teguh? Aku bawain camilan kesukaannya, Zua ju—”

“Om minta kamu keluar, Egi!” Bantingan gelas dari Rafi membuktikan bahwa pria paruhbaya itu benar-benar serius dengan ucapannya. Bentakannya begitu kencang, namun mengapa orang rumah tidak ada yang mendengar?

Egi terdiam, detak jantungnya berdetak begitu cepat saking terkejut dengan apa yang barusan terjadi. Bahkan dia sampai berdiri tegak, menatap tak percaya dalam diam.

“Om, lagi ada masalah, ya?” tanyanya pelan.

Itu hanya pemikirannya saja kala melihat Rafi yang mulai emosi. Terkadang, sebagian orang tak bisa mengendalikan kemarahannya, kan?

Rafi menarik napasnya kasar seraya memejamkan matanya erat, tak berselang lama dia kembali menatap lurus ke arah Egi. Bukan benci, akan tetapi kecewa. “Om larang kamu ketemu siapa pun keluarga om, mau itu Zua atau Teguh nggak akan om biarin begitu aja. Hampir tiga tahun lebih kasih kamu kepercayaan, kenapa disia-siakan? Om nggak anggap kamu orang asing, tapi lebih anggap kamu anak sendiri. Masalahnya, kamu buat anak perempuan Om menderita. Apa itu balasan kamu sama Om? Om tidak suka orang pembohong, Om kira kamu akan lindungin Zua dari orang-orang yang mau celakain dia. Ternyata kamu sendiri orangnya, sahabat anak Om. Berapa banyak orang yang kamu libatin buat rencana murahan kamu? Apa kamu pernah berpikir bahwa ini merugikan banyak orang?”

Dia mulai mengerti arah bicara itu kemana, Egi menggeram pelan. Sudah jelas kalau apa yang seharusnya masih ia sembunyikan pada Ayah dari Zua sudah mengetahuinya lebih dulu. Disaat ia mulai mendekati lagi pria paruhbaya itu agar senantiasa mempercayainya, ia kira semua masih baik-baik saja perihal keluarga Zua yang tak melihat kejadian itu secara langsung.

Sialnya keberuntungan tengah tidak berpihak padanya untuk sekarang. Egi mengutuk nama Raga yang terlintas, dia menyalahkan laki-laki itu untuk segala kegagalan yang terjadi pada dirinya juga rencananya.

“Pergi!” Rafi mendorong bahu Egi kasar, kantong putih yang dibawa olehnya pun dilempar ke arah punggung Egi. Isinya berhamburan di atas lantai, bahkan salah satu kantong itu sobek. “Walaupun keluarga Om termasuk orang susah, Om masih mampu kasih mereka uang.”

Egi membalikkan badannya, menatap serius Rafi yang juga tengah menatap dirinya dengan sorot mata kecewa. “Kenapa Om percaya gitu aja? Kalau Om tahu Egi udah lama temenan sama Zua, yakin itu beneran? Itu nggak bener Om, Egi nggak akan lukain Zua cuma buat keinginan Egi semata. Apa harus sampe satu kesalahan yang sama sekali nggak Egi lakuin, Om nggak akan kasih kesempatan buat jelasin? Apa yang mereka bilang tentang keburukan Egi itu ada bukti?”

Rafi menggeleng tegas, sedari tadi dia berusaha agar tidak mendengarkan Egi. “Nggak perlu bohong lagi, sekarang Om sudah tahu semuanya. Om persilahkan kamu keluar sekarang,” perintahnya lalu berlalu ke arah dapur.

Egi mengacak rambutnya kasar, dia berdecak sebelum akhirnya memilih pergi dengan emosi yang menggebu, meninggalkan camilan yang sengaja dibeli berceceran begitu saja. Ketika melewati gerbang rumah Zua, dia menendangnya kasar. Dadanya naik turun, menandakkan bahwa dia benar-benar sedang marah.

Ting

Sebuah notifikasi muncul, Egi egera merogoh sakunya. Beberapa saat kemudian sebuah video terputar, belum sepenuhnya durasi Egi lihat, dia lantas membantingnya hingga layar handphone itu pecah.

“Kenapa lo lempar?”

Raga berjalan dari arah belakang rumah Zua, ke dua tanganya berada di saku celana jeans hitam yang sedikit longgar. Dari belakangnya, Zua menggenggam erat lengan laki-laki itu. Bersembunyi di balik badan tegap milik Raga.

“Itu salah satu bukti yang ayahnya Zua lihat, sisanya ada video di belakang sekolah ketika lo minta Saras permaluin Zua di kafe. Ck, lo bodoh, di belakang sekolah ada cctv asal lo tahu.” Raga mengedikkan bahunya, dia menarik tangan Zua dan menggenggamnya dengan lembut. Meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. “Foto pas lo jambak rambut Saras di rooftop sekolah, salah satu siswa penghuni yang sering ke sana nggak sengaja ngambil gambar lo.”

Zua melirik sekilas raut muka Egi yang masih terlihat tenang, tangannya spontan mengeratkan genggaman tangan Raga saat tak sengaja netra Egu menatap ke arahnya disertai seringaian.

Tak jauh berbeda dari kondisi Raga, Egi pun masih memiliki bekas luka di sekitar wajah. Namun, fokusnya sempat teralihkan pada luka memar di sekitar dahi yang agak besar. Zua yakin kalau luka itu adalah luka yang Egi dapatkan setelah jatuh pingsan.

Raga melingkarkan tangannya di bahu Zua seraya mengusapnya pelan. “Tenang, Zua, ada aku,” bisik Raga tepat di telinga gadis itu.

Beruntung mereka berdua pulang ke rumah Zua terlebih dahulu, sejak kadatangan Egi pun Raga sudah melihatnya. Modal uang dan angkutan umum, dia tetap bersama Zua saat pergi sekolah juga. Awalnya ingin meminjam motor salah satu satpam rumah Raga, sayangnya sang Bunda lebih bertindak cepat melarang siapapun untuk membantunya.

“Gue gak peduli soal bukti, Zua lebih dari segalanya buat gue sekarang. Cari bukti sebanyak-banyaknya pun, gue gak bakal larang lo. Buat apa gue punya banyak kepercayaan orang-orang, gue lebih baik merjuangin dia daripada harga diri gue sendiri.” Netra Egi tak mau lepas sedikit pun dari Zua. Hal itu membuat Raga mendelik tak suka.

“Cowok modelan kayak lo nggak ada apa-apanya dibanding gue,” ujarnya lagi, “Lo, cuma mantannya yang masih ngejar-ngejar.”

Raga memukul rahang Egi secara tiba-tiba hingga laki-laki itu terhuyung. Bukannya Raga tidak sadar akan posisinya yang berubah jadi mantan, dia merasa apa yang Egi ucapkan itu adalah penghinaan. Raga bukan pengecut layaknya dia, dirinya bahkan terang-terangan memperjuangkan Zua.

Setelah Mamanya yang menyita motor Raga kemarin malam, saat itu juga dia mengumpulkan bukti-bukti dari kakak kelasnya. Dia tak mempedulikan jam yang menunjukkan angka tengah malam, tak sedikit dari mereka merutuki Raga yang tak kenal waktu.

Perihal video di sekolah, Raga dapatkan pada saat istirahat terakhir. Ayah Zua memang masih saja mendiami Zua, setidaknya dia bersyukur bukti yang Raga bawa membuat pandangannya pada Egi berbeda.

“Brengsek!”

Egi tertawa pelan dia menjilat sudut bibirnya yang terasa sedikit perih. Tak menghiraukan umpatan Raga di depannya. “Zua, gue gak minta lo jawab pernyataan gue. Lo milik gue, bukan milik cowok di samping lo!”

Destiny (Complete)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang