Part 22

2.4K 170 9
                                    

Zua menatap nanar layar ponsel Rama, laki-laki itu tidak berbohong. Dirinya masih tidak percaya pada pasangan yang ada di dalam poto tersebut. Saras dan Raga tengah tersenyum bahagia.

Pikirannya seolah buntu, ini tidak mungkin terjadi. Tapi apalah daya, bukti sudah di depan mata. Netranya memanas bersamaan dengan rasa sesak menghantam dadanya. “Kak ... ini beneran Raga?”

Laki-laki yang sering meyakinkannya untuk tetap percaya, kini laki-laki itu sudah terikat dengan perempuan yang tidak lain selalu menjadi prioritas pacarnya. Alih-alih selama ini berhubungan dengan dirinya hanya status dan Saras lebih berada diposisi yang lebih penting.

Apa yang diucapkan Saras padanya; cibiran, hinaan, dan kejadian yang dulu ketika di cafe waktu itu. Ternyata dirinyalah memang perempuan yang tidak tahu diri. Seandainya Zua mengetahuinya lebih dulu, dia tidak akan mempertahankan laki-laki itu.

Saras tidak salah, dirinya yang salah. Perempuan itu hanya pendatang yang mampu memikat Raga, begitupun sebaliknya. Mereka hanya lawan jenis yang tertarik satu sama lain, akan tetapi dengan adanya status Zua itu yang jadi penghalang mereka.

Rama mendorong tisu mendekatkannya pada Zua. “Jadi, selama lo pacaran sama dia ... cowok lo udah tunangan di belakang lo, gitu, ya?”

“Aku nggak tahu, kak. Benar-benar nggak tahu soal ini, tapi beberapa minggu lalu aku pernah lihat cincin jatuh di kemeja dia.” Zua menengadahkan kepalanya seraya terkekeh kecil. “Kok aku nggak percaya, ya? Tiap kali aku minta putus ... Raga selalu mohon-mohon dan minta hubungan aku sama dia terus berjalan. Dia selalu yakinin aku lewat omongannya, setelah tahu ini dari kakak aku jadi yakin kalau Raga nggak beneran cinta sama aku.”

Untuk kesekian kalinya Raga berbohong. Dan oranglain yang memberitahu hal ini.

“Udah gak usah nangisin cowok kayak dia, oke. Lo terlalu jatuh karena dia, sekarang keluarin semua emosi lo saat ini juga. Mungkin, gue nggak ngerasain apa yang lo rasain. But, sakit hati itu konsekuensi orang yang siap pacaran.” Rama menepuk-nepuk pundak Zua pelan, menguatkan hati perempuan yang tengah dilanda rasa kecewa yang amat mendalam.

“Sejauh ini lo jadi cewek kuat, tapi nggak setiap saat lo harus kuat. Gue ingetin, gue kenal lo baru-baru ini dan lo jadi perempuan pertama yang sabar di pandangan gue, just my opinion. Belajar ikhlasin dia dengan perempuan lain, jodoh 'kan udah diatur. Nggak perlu pacaran buat bikin diri sendiri bahagia, di sekeliling lo ... ada orang-orang yang secara nggak sadar bikin mood lo lebih baik.”

Zua menatap Rama dengan mata dan hidungnya yang memerah. Isakan kecil masih menyertainya. “Aku pacaran udah lama, tapi dia tunangannya sama Saras. Udah jelas, kak, itu bikin aku sakit hati, karena dia cowok pertama yang bikin aku jatuh cinta. Lupain atau ikhlasin dia juga nggak mudah. Aku nggak bisa ...”

“Lo nggak akan pernah bisa kalau lo nyerah sebelum nyoba dulu.”

Semuanya terasa mimpi bagi Zua. Dia bahkan mencoba untuk percaya pada laki-laki itu. Namun, harapannya kalah pada realita yang tak berpihak padanya.

Perasaannya apakah harus dia korbankan?

Sia-sia Zua mempertahankan hubungan dibelakang sang Ayah yang tidak menyetujuinya. Ada benarnya ucapan mereka yang sama sekali tidak menyukai hubungannya itu, perkataan mereka benar. Raga hanya berucap tanpa bertindak. Laki-laki itu hanya ingin kepuasan diri saja.

-——-

Dalam keheningan Zua memakan bekal yang sengaja bawa dari rumah. Seraya menggigit rotinya, netra teduhnya begitu kentara bekas air mata. Sekitar matanya membengkak karena keseringan menangis.

Ratih dan Adam yang sedari tadi duduk di meja yang sama merasakan perubahan sang gadis. Mereka berdua tidak tahu apa yang membuat Zua jadi seperti itu.

Adam mengkode sang pacar, mulutnya bergerak seolah bertanya 'kenapa?'

Destiny (Complete)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang