Part 31

2.9K 146 7
                                    

"Zua, dapurnya di sebelah mana?" Raga menunjuk perutnya dengan senyum tak enak.

Zua, gadis itu hanya memberitahu laki-laki di depannya lewat matanya yang bergerak.

Lantas Raga mengangguk, menarik tangan Zua agar mengikuti langkahnya. Kala sampai di meja makan, dia melepaskan tautan tangan mereka, membiarkan Zua duduk di kursi dan Raga berjalan ke arah dapur.

Zua memandang ragu punggung Raga, kepalanya dia jatuhkan ke atas meja dengan tangan sebagai bantalan, netranya sayu dan masih tersisa jejak air mata yang meninggalkan warna merah.

"Kalau ngantuk tiduran aja, Zu. Ntar aku bangunin pas udah selesai, yang aku tahu orang yang habis nangis suka ngantuk. Iya, nggak sih?" tanya Raga tanpa menatap lawan bicaranya. Laki-laki itu tampak tak mau diam. Bergerak ke sana kemari.

"Nggak, aku nggak ngantuk kok,” kilah Zua dengan suara serak. Dia mengernyit aneh saat Raga terlihat bingung. "Cari apa?"

Laki-laki itu dengan cepat berbalik, mengulas senyum hingga menampakan sederetan giginya. "Nasi sama telur di mana?" tanyanya lalu tertawa kecil.

Dalam benaknya dia bingung akan pertanyaannya. Memangnya Raga bisa memasak?

Zua tak tahu perihal masakan yang Raga buat, bahkan sepertinya baru kali ini dia melihat Raga berada di dapur. Dia mengedikkan bahunya acuh. "Itu samping kiri kamu apa? Kalau telur ada di dalam kulkas."

Raga mengangguk, mengiyakan kemudian berjalan ke arah kulkas.

Hingga beberapa saat kemudian Raga menghampirinya dengan membawa satu piring nasi goreng. Laki-laki itu duduk di samping Zua yang sontak menegakkan tubuhnya, menatap ke arah Raga yang juga menatap balik dirinya.

Raga berdecak kesal tatkala Zua malah menjauhkan piring itu. Gadis itu melipatkan kedua tangannya di dada dengan menyipitkan matanya. Laki-laki itu sontak tertawa kecil melihat wajah Zua yang menurutnya menggemaskan. Layaknya seorang badut karena hidung dan mata perempuan itu yang masih memerah.

"Kenapa? Nggak mau makan?" Raga bertanya dengan nada lembut, mencoba sabar. Keadaan kepalanya kini sudah lebih baik, karena Zua yang mengobatinya. Hanya luka kecil saja. Namun, terkadang rasa ngilu di daerah sekitar wajah masih terasa.

"Bukan itu.”

Raga mengulas senyum simpul. "Ya terus apa?"

“Sejak kapan kamu bisa masak? Kok aku nggak tahu?” Saat berhubungan dengannya pun Zua sama sekali tak pernah melihat Raga memasak.

Raga tertawa renyah mendengar pertanyaan gadis di depannya, tangannya bergerak mengacak rambut Zua.

"Emang kamu siapa aku? Sampe harus tahu segala, aku bisa masak cuma nasi goreng doang." Beberapa saat setelahnya raut wajah Zua berubah, spontan saja Raga melanjutkan ucapannya, "Bercanda."

"Kita emang bukan siapa-siapa lagi, Ga. Kamu nggak salah ngomong kok, harusnya kita nggak deket kaya gini, 'kan?" Kepalanya menunduk, melirik ke arah kakinya. Tangannya pun ikut turun dan menumpu di kedua sisi tubuhnya. "Kita udah jadi mantan."

Jauh di lubuk hatinya, ada rasa sesak yang menghantam dirinya dengan kenyataan itu.

Raga menghela napas berat. "Tinggal balikan, kita udah nggak jadi mantan lagi. Lagian aku tahu, kok, kamu masih cinta sama aku."

Zua kembali menatap Raga, dia belum sepenuhnya menaruh kepercayaan pada. "Aku nggak percaya perihal kamu bukan tunangan Saras," ujarnya sembari menaruh handphone miliknya yang sedari tadi ada di saku.

Tangan Raga bergerak mengambil handphone Zua, menatap layar yang menyala, menampilkan foto dirinya dan Saras yang tampak dari dekorasi ruangan itu tengah ada acara besar, mungkin tunangan. Tak lama Raga ikut mengeluarkan handphone miliknya dan mensejajarkan kedua benda pipih tersebut di atas meja. Masing-masing menampilkan satu gambar sama, namun wajah yang jelas berbeda.

Raga menatap ke dua handphone itu dengan tenang. "See? Jaman sekarang foto bisa diedit kayak benar-benar nyata." Telunjuknya mengarah layar handphone miliknya sendiri. "Dan yang ini ... foto asli."

Zua terdiam, dari kedua handphone tersebut latarnya sama hanya wajahnya saja yang berbeda. Dari pose pun sama. Bagaimana dia bisa membedakan mana yang asli dan mana yang palsu kalau begitu?

"Kamu bisa lihat dari segi intensitas cahaya, warna kulit yang sebagian nggak sama, efek blur juga ngebuktiin mana foto asli dan yang rekayasa. Kamu bisa lihat dari kedua foto itu, Zu. Coba bedain."

Jika dilihat-lihat memang dari kedua foto itu yang tampak rekayasa adalah foto yang berwajah Raga dan Saras. Beberapa bagian intensitasnya begitu terlihat berbeda dan tak sempurna.

Zua menatap ragu pada Raga.

"Oh, Rama? Cowok yang pernah bilang kalau dia datang ke acara tunangan aku? Itu udah jelas bohong, aku kenal dia. Karena sempat denger dia nembak kamu, yaudah aku libatin dia aja supaya jadi saksi palsu. Awalnya Rama juga nolak, tapi lewat uang dia mau. Ya, mungkin kebetulan lagi butuh."

Mendengar pernyataan itu Zua dibuat terdiam lagi. Tak mampu menjawab.

Raga merapikan rambut gadis di depannya yang sedikit terlihat berantakan. Lalu beralih pada netra Zua yang berembun, dia mengernyit bingung. "Lha, nangis? Kenapa, sih, Zu? Sini cerita apa yang nambah pikiran kamu?"

“Masih nggak nyangka aja sahabat aku bakal bertindak kayak gitu.” Zua menggeleng seolah berkata tak apa-apa, padahal dari matanya saja yang bertambah berembun Raga tahu. Dia tertawa getir bersamaan dengan bulir bening yang mengalir ke pipinya. "Padahal bunda, ayah, juga Teguh ... udah anggap dia sebagai bagian dari keluarga aku sendiri, Ga. Aku nggak bisa definisiin segimana kecewanya aku ke dia."

Raga menarik Zua ke dalam pelukannya hingga tenang, baru setelahnya dia melepaskan pelukkan. Walau di satu sisi sebenarnya Raga tak mau, dia rindu akan gadis di depannya ini.

Tangan Raga terulur memegang ke dua bahu Zua, lalu menghela napas berat. "Nasi goreng buatan aku udah dingin, kita cari makan di luar aja," ajaknya mencoba mengalihkan arah pembicaraan.

Raga memilih berjalan di depan, begitu pula dengan Zua yang membuntutinya.

Dari belakang gadis itu menatap arlojinya yang membuat Zua menghentikkan langkah kakinya. "Ga ...."

Raga yang sudah beberapa meter di depan, melemparkan pandangannya pada Zua.

"Ini udah malem, Raga. Kamu mending pulang aja, nggak baik anak cowo di rumah cewe yang lagi sendirian di rumahnya. Bunda juga belum pulang, aku takut dimarahin kalau mereka tahu kamu di sini.” Zua ingat betul Ayahnya dan Teguh yang memang tak suka pada Raga. Bundanya bisa dibilang hanya merasa ragu saja. Mungkin. “Pulang, ya?”

Raga menggeleng keras, menolak anjuran dari Zua. “Aku trmenin kamu nunggu mereka."

Mata Zua memelas, menatap penuh harap. “Raga ...."

Tetap saja, Raga menggeleng sebagai jawaban. Dia kembali berjalan dengan terpaksa Zua mengikuti langkahnya itu.

Baru saja Raga membuka pintu keluar langkahnya kembali terhenti. Dia terdiam melihat ayah Zua yang berdiri menatapnya tajam. Zua yang terhalang, menyembulkan kepalanya sedikit.

"A-ayah."

“Ngapain bawa dia ke rumah? Ayah udah bilang 'kan kalau ayah nggak suka dia?”

Jantungnya berdetak tak karuan, Ayahnya bertanya penuh penekanan yang menandakan kalau dirinya tengah menahan emosi.

"Maaf, ada salah paham disini, om. Boleh saya ke dalam lagi? Buat jelasin semuanya ... termasuk Egi, sahabatnya Zua."

Destiny (Complete)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang