Part 34

2.2K 90 3
                                    


Dapat Raga lihat alis Zua langsung  tertekuk, kentara bingung. Gadis itu terdiam untuk beberapa saat, mencoba mencerna berita yang membuatnya sedikit heran sekaligus khawatir. Masih pantas kah Zua mengkhawatirkan Egi?

Tak ada salahnya, kan?

Disini mungkin Egi sudah melakukan kesalahan, bukan berarti Zua tak bisa peduli pada laki-laki itu. Dalem hatinya sudah jelas masih ada rasa tak percaya juga peduli. Namun, Zua tak mungkin menjenguk Egi mengingat kejadian kemarin yang membuat dirinya takut jika harus bertatap muka langsung.

Zua tak munafik soal perasaannya bahwa ada kelegaan kala mendengar itu, artinya untuk beberapa waktu Egi tak akan menampakkan batang hidungnya. Dia menarik napas panjang kala suara bentakan nan tegas dari Egi yang memaksa bahwa dirinya adalah milik laki-laki itu kembali berputar dalam ingatan dirinya.

Hanya karena suatu kejadian, belum tentu akan menghilangkan semua kenangan, iya, 'kan? Menghapus cerita yang sempat mereka lalui bersama, yang hilang hanya kepercayaannya, bukan kepeduliannya.

Raga yang sedari tadi memusatkan perhatian pada gadis yang telah memutuskan dirinya itu lantas mengulas senyum kecil. Jemari laki-laki itu bergerak mengusap anak rambut yang terlihat tak rapi.

“Dia nggak apa-apa, kamu nggak perlu khawatir.”

Zua menggeleng menanggapi. “Kalau dia nggak apa-apa, nggak mungkin sampe harus dibawa ke rumah sakit, kan, Ga? Aku tahu ... luka di wajah kamu lebih parah, juga kepala kamu kena imbasnya, tapi Egi ....”

Raga mengangguk-anggukkan kepala, mengerti atas apa yang Zua rasakan.

“Percaya sama aku, kemarin sore Rama kebetulan lewatin gedung itu, karena nggak sengaja lihat Egi, dia langsung bawa ke Rumah Sakit,” papar Raga seraya menelan cilok yang sedari tadi sudah berada dalam mulutnya, “Kalau pagi tadi Rama nggak lihat lebam di muka aku, dia nggak mungkin ngasih tahu. Lagian aku yang punya masalah sama Egi, 'kan?”

Zua membuka tutup botol minuman, kemudian mendekatkannya pada Raga yang terlihat kehausan sembari terus mendengarkan penjelasan Raga.

“Beneran dia nggak parah?” tanya gadis itu ragu, telinganya menangkap desahan lelah dari laki-laki berseragam putih abu di depannya.

“Dia nggak apa-apa, harus berapa kali aku bilang kalau dia nggak apa-apa? Kamu juga tahu dan lihat sendiri siapa yang lebih parah dapet pukulan, aku atau dia? Kalau masih belum percaya juga, sana tengok! Aku bolehin kamu pergi, tapi kalau dia lakuin aneh-aneh lagi aku nggak peduli.”

Kepala Zua menunduk, jari lentiknya bergerak abstrak di atas meja. Dia menyembunyikan netranya yang mulai berkaca-kaca. “Bukan gitu maksud aku.”

“Bukan gitu gimana? Ha? Jelasin sekarang.”

“Dia masih sahabat aku.”

“Masih pantes dibilang sahabat? Kamu bercanda, Zua?” Raga terkekeh tak percaya. “Secara nggak langsung dia sakitin fisik kamu lewat Saras, dia nyuruh sepupu aku buat bikin hubungan kita putus. Sahabat macam apa yang kayak gitu?”

Zua mendelik tajam dengan netra yang berair. “Jangan bilang yang nggak-nggak, ya! Kamu sendiri permaluin aku di depan murid-murid lewat omongan kamu, tangan kamu sendiri juga nampar aku.”

Raga menggebrak meja begitu keras, sampai-sampai kelas yang tadinya berisik kini senyap. Seisi kelas mengatensikan perhatiannya pada sepasang lawan jenis. Lain halnya Zua yang meremat kedua tangannya sendiri, takut.

“Saras bilang kamu yang buat dia ke rumah sakit!” bentak Raga, sungguh dirinya tak dapat mengontrol emosi. Laki-laki itu merasa sudah sering menjelaskan perihal Saras yang sering dibuat semena-mena, bak tangan kanan orang yang Zua anggap sahabat.

Raga menarik napas panjang, menetralkan emosinya. Netranya berpindah pada tangan Zua yang masih meremat, dia menariknya lalu menggenggamnya dengan lembut. “Maaf, waktu itu aku emosi tahu keadaan dia kayak gitu. Dia bagian keluarga aku yang harus aku lindungi, Zua. Nggak lama kemudian Saras kasih tahu aku sambil nangis, dia tunjukin kakinya yang memar karena Egi. Tiap kali Egi nggak sama kamu, Saras yang sering jadi sasaran amarahnya, termasuk pas kamu marahan sama dia.”

-——-

“Eh, ini ketinggalan.”

Zua yang baru sadar pun membalikan badannya, kembali menghampiri Raga yang memberikan dua plastik berisi martabak. Sehabis pulang sekolah Raga menyempatkan membelinya untuk Zua bawa pulang agar orang rumah dapat memakannya.

Siapa tahu mereka tak akan mendiami Zua lagi.

Hitung-hitung, usahanya membantu gadisnya. Gadisnya? Laki-laki itu melupakan bahwa mereka sudah jadi mantan yang kini sama-sama memperjuangkan restu orang tua. Seandainya saja mereka dapat restu, sepertinya Raga akan mencoba mempertahankan hubungannya hingga pelaminan.

Dari belakang Raga terus membuntuti  langkah Zua hingga masuk ke ruang tamu, dia duduk dengan kepala yang bersandar pada sofa. Netra tajamnya terpejam, dua kancing kemeja putih sekolahnya terbuka. Membiarkan angin masuk ke tubuhnya yang kini merasa kegerahan.

Zua masuk ke arah ruang makan, menyimpan martabak tadi. Dia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul tiga sore lebih lima menit. Akan tetapi, gadis itu belum melihat keberadaan Teguh.

Seraya melangkahkan kakinya ke kamar sang Bunda, mengetuknya pelan. Tak lama kemudian, pintu bercat coklat itu terbuka. Menampilkan sosok wanita paruhbaya dengan handuk putih yang melilit di rambutnya.

Gadis itu diam, netranya terus menatap sang Bunda. Kalimat yang ingin Zua ucapkan tertahan di tenggorokkan, dia tak mampu mengatakannya. Zua tahu betul bahwa Bundanya itu tengah kecewa pada Zua atau mungkin marah.

“Ada apa?” Dua kalimat itu keluar dari bibir ranum Bundanya, halus, namun terkesan datar bagi Zua.

“Raga bawain martabak, aku udah simpan di ruang makan,” ucap Zua pelan.

“Nanti Bunda makan,” ujar Dania sembari mengangguk. Tatapannya beralih pada seragam yang masih terpasang rapi pada tubuh Zua yang ikut menatap bajunya bingung. “Kenapa belum ganti baju? Sana ganti, nanti makan martabak bareng-bareng. Raga juga masih ada di sini, :kan? Kasih dia minum.”

“Bunda,” lirih Zua pelan, matanya kian berkaca-kaca. “Bunda, nggak marah sama, Zua?”

Sebuah tangan besar merangkulnya, Zua melirik sang pelaku yang ternyata adalah Raga.

“Bunda nggak marah, Zua. Tadi pagi nggak bangunin kamu, karena pergi belanja, ya, 'kan, Tan?” Raga bertanya dengan senyuman manis yang terukir mewarnai wajahnya.

Wanita paruhbaya itu tersenyum membalas, mengusap wajah memerah sang anak. “Mana mungkin Bunda marah sama kamu, sayang. Yang dibilangin Raga bener, tadi pagi Bunda buru-buru, jadi nggak sempet bangunin kamu.”

Air matanya keluar begitu saja, Zua tak menyangka Bundanya tak akan marah. Dia lantas memeluk wanita itu erat, Raga yang berada di sampingnya hanya tersenyum. “Aku kira Bunda marah kayak Ayah sama Teguh, makanya Raga bawain martabak.”

Raga menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan senyuman tak enak dia berkata, “Ya, abisnya Raga kesel sama Zua.”

“Iya, gak apa-apa. Bunda bolehin pacaran kalau ayah sama abang ijinin juga, mereka masih marah lho.” Dania melepaskan pelukan Zua, dia menatap lembut ke arah anaknya lalu beralih pada Raga. Laki-laki itu mengangguk antusias.

Destiny (Complete)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang