Part 26

2.9K 159 9
                                    

“Gue bahagia tiap kali lihat lo kesakitan, apalagi alasannya karena gue,” bisik Saras. Dia melepaskan tarikan tangan pada rambut Zua lalu berbalik menjauhi kerumunan.

“Jangan gangguin Zua, Saras!”

Egi yang melihat Saras pergi tanpa menanggapi dirinya berdecih, dia kembali membantu Zua agar dapat berdiri. Ringisan sahabatnya terdengar ketika tangan Egi tak sengaja menekan punggung Zua.

“Sorry.”

Dengan hati-hati Egi membersihkan debu dan bebatuan di baju dan tangan Zua.

“Masih sakit, ya?” Keterdiaman Zua membuatnya kembali bertanya. Dia mengangkat dagu gadis di depannya, memaksa agar netra sendu menatap balik dirinya. “Gak usah dipikirin.”

Gadis itu mengulas senyum kecil bersamaan dengan anggukan kepalanya pelan meski wajahnya kentara bekas air mata.

“Udah, seterusnya lo gak perlu galauin cowok yang bawa dampak buruk buat lo. Gimana kalo tuh cewek berbuat lebih jauh lagi. Gue khawatir lo kenapa-napa, sekarang dengerin omongan gue, oke?”

Mulut Egi tak berhenti menggerutu membuat Zua tahu bahwa sahabatnya ini kesal melihat dirinya terluka. Bukan sekali dua kali dia bersikap peduli padanya yang dibarengi dengan ceramahin yang tak kunjung berhenti.

“Iya,” balas Zua pelan.

“Sepupu gue keras kepala, dia nggak pernah dengerin saran orang lain. Apalagi setiap dikerasan, malah ngelunjak yang ada. Gue juga minta maaf, gak nyangka dia bakal berbuat nekat,” paparnya seraya mengambil helm yang tadi terjatuh.

“Punggung aku sakit, ini nggak bakalan sembuh kalo kamu terus ngomong.”

Laki-laki itu mendekat dengan raut muka yang berubah datar. Tangannya mencubit gemas pipi sahabatnya. “Ikutin perintah gue, Zua. Kadang gue kesel sama lo, udah tahu sakit hati malah tetep aja sama Raga. Sekarang giliran udah putus, kerjaannya galau terus.”

Zua mencebikan bibirnya sebal, matanya menatap ke arah lain. “Mulut kamu kayak cewek, nggak mau berenti.”

“Biarin aja, mulut gue gak akan berenti kalo berhadapan sama lo. Bisa naik nggak?” Egi memapah sahabatnya mendekati motor miliknya.

Lantas Zua menggeleng, punggungnya bergerak sedikit saja terasa remuk.

“Berdiri bisa?”

“Bisa.”

Egi mengangguk, dia menstandar duakan motornya lalu membantu Zua menaikinya. Baru setelah itu dia naik, dia meraih kedua tangan Zua. Melingkarkannya di perut laki-laki itu. “Bukan bermaksud buat modus, gue takut lo jatuh lagi.”

Dia melirik kedua tangan Zua sebentar. “Oh iya, gue lupa tangan lo sakit.”

“Nggak, lebih sakit punggung,” lirih Zua pelan.

Egi menghela napas berat lalu mengusap tangan sahabatnya yang sengaja Saras injak.

Zua hanya diam mendapatkan perlakuan itu, dia menyembunyikan wajahnya di balik punggung lebar Egi seraya memejamkan matanya. Dalam hati Zua terus saja menyebut nama Raga penuh emosi.

-——-

“Perih, Bunda,” keluh Zua saat Dania menekan kapas yang sudah diberi obat merah ke punggungnya.

“Bunda heran, kok kamu bisa jatuh dari motor, sih. Apa Egi bawanya ngebut?” tanya Dania dengan tangan yang tak urung terus mengobati memar di punggung anaknya.

Zua memilin jari-jarinya gugup. “Nggak, dia bawa motornya biasa aja, tapi pas ngeduluin mobil yang berhenti pinggir jalan dia nggak lihat kalo di depan ada selang air yang lagi dipake buat bersihin itu mobil, alhasil jatuh deh.”

Di belakang Zua Dania menggeleng heran. “Nggak masuk akal loh, kalo jatuhnya karena ada selang harusnya tangan atau kaki kamu yang kena. Ini malah punggung aja, itupun Egi nggak kenapa-napa.”

“Ya, masa aku harus ulang jatuhnya, Bun. Terus bilang ke Egi ‘kamu juga harus luka biar bunda percaya', gitu?” Entah kenapa yang diucapkan olehnya mengalir lancar begitu saja.

“Ya, nggak gitu juga.”

“Coba Bunda tanya sama motornya Egi, kenapa yang punya motornya nggak luka dan malah aku yang luka.”

Dania tertawa kecil mendengarnya. “Kamu ini ada-ada aja.”

Tak lama Dania selesai mengobati Zua, dia membenarkan baju bagian punggung anaknya yang tadi dia sedikit keataskan. Dania mengusap puncak kepala gadis itu lembut. “Lain kali kalo mau apa-apa harus hati-hati. Bunda mau keluar cari sayuran buat dimasak nanti.”

Zua menatap nanar Bundanya, ada rasa menyesal telah berbicara bohong.

Setelah tadi sampai rumah Zua langsung meminta Bundanya untuk membantu dirinya mengobati Zua, dia mana bisa melakukannya sendiri. Terjatuh dari motor adalah alasan yang diberikan Zua pada sang Bunda.

Bukan bermaksud untuk berbohong, akan tetapi mengingat status Egi dan Saras sepupu, sahabatnya bisa ikut dimarahi atau mungkin dipukul oleh sang Ayah. Karena sepupu Saras orang kedua yang selalu menyakiti Zua lewat fisiknya.

Sementara Egi, laki-laki itu berdiam diri di depan televisi dengan tangan yang langsung merebut ps milik Teguh yang selalu disimpan disana. Bukan hal aneh bila Egi tidak mau berdiam saja di rumah Zua. Laki-laki itu akan mengambil benda apapun yang berada dihadapannya untuk ia mainkan.

Zua memilih menghampiri sahabatnya, dari kejauhan dia dapat melihat Egi yang sudah tertidur di lantai yang tak dialasi oleh karpet, layar televisinya masih menyala.

“Bangun.” Zua sedikit menggoyang-goyangkan tubuh Egi. “Bangun, heh!”

Laki-laki itu menggeliat merasa terganggu. Tak lama netra tajam yang tadi terpejam kini mengerjap-ngerjapkan matanya.

“Kenapa?” Suara serak nan berat itu mengalun ke pendengarannya.

“Sana pindah ke sofa, di sini dingin, Gi.”

Egi diam seraya menatap Zua lekat-lekat dengan posisi tiduran di lantai.

Lain halnya Zua, gadis itu melemparkan buku yang berada di meja tepat ke wajah sahabatnya. “Cepetan! Ayah pulang cepet sekarang,” ujar Zua sembari membereskan ruangan itu.

Zua berhenti sejenak, dia menatap sahabatnya lagi. “Egi!”

Sontak saja laki-laki itu bangkit dengan cengiran tak jelasnya. Dia berlutut di hadapan Zua, membuatnya bingung apa yang akan dilakukan oleh sahabatnya ini.

“Ampuni saya Ratu, saya hanya rakyat miskin yang butuh makan. Jangan penggal kepala saya, penggal saja hati saya yang sudah tertulis namamu Ratu.” Egi menyatukan kedua telapak tangannya, kepalanya terangkat menatap Zua dari bawah. “Saya ikhlas, karena saya tahu hati anda juga sudah terdapat ukiran nama saya.”

Zua berjongkok di hadapan Egi seraya mengusap wajah laki-laki itu, dia berujar, “Kamu butuh obat.”

“Obatku adalah kamu, maka jadilah Ratuku.”

“Geli, hih. Alay banget tahu nggak.” Gadis dengan kaos polos itu bergidik ngeri.

Apa setiap bangun tidur sahabatnya selalu bersikap aneh seperti ini?

“Hargain kek, gue nyoba romantis, Zua. Gitu aja nggak tahu.” Egi bangkit dan duduk di salah satu sofa yang menghadap ke Zua.

“Yang gitu dibilang romantis.”

“Romantis versi gue elah.”

Zua tertawa yang tak luput dari pendengaran Egi, laki-laki itu ikut tertawa melihat Zua seperti itu. Lega, setelah tadi sahabatnya terluka kembali bersikap seperti biasa. Dia tidak keberatan harus menjadi orang yang selalu ada walau terkadang Egi kewalahan menghadapinya.

Itu memang keinginannya, kan?

“Sakit?”

“Iya, kerasa kalau pas gerak.”

Egi menatap lurus Zua. “Maaf, gue kurang bisa jagain lo dari dia.”

Zua tersenyum simpul.

Destiny (Complete)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang