Tari--Ibu Raga menyela ucapannya. Wanita paruhbaya itu berdiri dengan menatapnya nyalang. Zua tahu betul wajahnya, walau sering tak bertegur sapa sekalipun.
Sontak saja dia dibuat terdiam, apalagi mendengar pertanyaan itu. Pasangan paruhbaya yang datang ke rumah Raga memilih diam menyimak.
“Aku mau ketemu Raga, Tante. Dia ada rumah, kan?” ujar Zua mencoba seramah mungkin.
“Saya bukan Tante kamu. Nggak usah sok ramah sama saya.”
“Maaf.” Suara Zua terdengar layaknya bisikan bagi Tari. Gadis itu tak suka ketika mendengar orang membentaknya seperti tadi. Apalagi Zua baru saja memasuki rumah itu beberapa menit lalu. Sangat tidak sopan menurutnya.
“Aku tanya baik-baik, Tante. Kedatangan aku kesini mau cari Raga bukan keributan. Jadi, Raga dimana?” Zua mengulas senyum dengan tangan yang memilin kedua sisi bajunya.
“Ada urusan apa lagi? Belum cukup lama kamu sama Raga?” tanya Tari tak suka, bahkan netranya menatap datar kearahnya.
Zua menghela napas kasar. “Urusan aku sama Raga, Tante nggak ada hak untuk tahu hal apapun.”
“Raga anak saya! Jauhin dia mulai sekarang! Jangan berhubungan lagi dengannya!”
“Kenapa nyuruh aku jauhin dia? Kita udah da—”
“Hubungan? Perempuan yang Saras maksud itu dia, Tari?” wanita paruhbaya yang tengah duduk menyahut seraya bangkit menatap lekat Tari yang menganggukkan kepalanya. Begitu pun juga pria paruhbaya yang mengernyitkan dahinya bingung atas apa yang barusan didengarnya.
“Saras tunangannya, kamu nggak berhak pacaran lagi sama Raga. Lulus kuliah nanti mereka juga akan menikah. Saya mohon jauhin Raga, putri saya akan sakit hati kalau kamu bersikap kayak gini.”
Siapapun yang tahu hubungannya dengan Saras dan Raga, mereka pasti tahu siapa yang sebenarnya sakit hati. Pupus sudah niatan Zua untuk memaafkan pacarnya. Kenapa tidak dari dulu saja dia melepaskan Raga? Mungkin, rasanya tak akan sesakit ini. Zua berharap ini hanya bualan untuk menjauhkannya dari Raga, tapi wanita paruhbaya itu berucap jujur.
Bodoh, sekarang Zua benar-benar merasa bodoh. Tak percaya pada omongan orang-orang pasal pacarnya. Zua malah berasumsi sendiri, mencoba meyakinkan apa yang ada dipikirannya. Kenyataannya Raga memang sudah bertunangan.
Zua mengusap matanya yang berembun, dia berbalik meninggalkan mereka tanpa sepatah kata apapun.
Pacarnya hobi sekali berbohong padanya dan sialnya Zua selalu percaya. Mungkin, sekarang bukan lagi pacar. Zua tak suka pada kenyataan ini.
“Mau kemana?!” Suara teriakan terdengar dari arah belakang Zua. Dia berbalik, matanya menangkap sosok laki-laki yang jadi alasannya menangis.
“Mama bicara apa sama kamu?” Raga mengusap pipi Zua yang basah, raut mukanya kentara khawatir.
Zua menatap jelas bekas pukulan yang meninggalkan luka di wajah Raga. Dia menyentak tangan sang pacar yang membuat Raga dilanda kebingungan. “Aku minta kita putus.”
Raga termangu, mencoba mencerna ucapan Zua.
“Aku serius, Ga.”
Rasa sesak menjalar ke tubuh Raga, napasnya memburu. Dengan tangan yang bergetar dia menggenggam telapak tangan Zua. “Kamu bercanda, 'kan?”
Gadis di depan Raga mundur beberapa langkah. Zua tersenyum meski netra yang terus menjatuhkan cairan bening. “Hubungan kita udah nggak bisa dilanjutin, apalagi dipertahanin. Nggak mungkin, Raga.”
“Kenapa?” Raga berujar lirih, dia menunduk.
Zua terdiam, tak mampu berbicara. Air matanya tak bisa dicegah untuk berhenti mengalir.
Raga kembali menatap Zua dengan mata yang berkaca-kaca. “Kamu bohong?”
“Yang bohong itu kamu! Beberapa kali, Ga! Aku udah beberapa kali coba percaya omongan kamu, tapi apa? Kamu bukan milik aku lagi sekarang! Saras orang yang berhak milikin kamu Raga!” Zua terkekeh di sela-sela tangisnya. “Untuk kali ini dan terakhir kalinya aku minta putus. Aku anggap kita nggak pernah saling kenal. Jauhin aku dari sekarang, begitu pula aku akan jauhin kamu.”
“Zua, jangan kayak gini. Aku mau kita mulai dari nol lagi. Nggak perlu kamu bilang putus. Pertahanin hubungan kita, ya, Zua.” Raga berjalan mendekati Zua yang malah semakin bergerak mundur.
“Aku nggak mau! Aku cape sama apa yang kamu lakuin! Nggak ada yang perlu pertahanin lagi. Semua itu nggak bakalan terjadi.”
Apa yang Zua lontarkan membuat Raga merasa ketar-ketir. “Aku minta maaf, aku janji nggak akan bohong lagi sama kamu. Aku janji.”
“Aku nggak percaya sama kamu.”
Setelah mengatakan itu Zua berlalu.
Raga berniat mengejar harus terhenti, karena tarikan tangannya.
“Berhenti kejar dia, dengerin kata orang tua kamu.”
Raga mendorong perempuan itu, tak perduli ringisan kesakitan. Dia meraih benda yang selalu berada di sakunya kemudian dia lemparkan pada Saras. “Gue maunya Zua! Selesain masalah lo tanpa harus ikut campur urusan gue!”
“Raga!” Tari menghampiri anaknya yang diikuti keluarga Saras dari belakang. “Saras benar! Berhenti kejar dia!”
“Karena sikap Bunda ke Zua, dia putusin aku. Saras! Bilang sama nyokap gue kalau apa yang lo ucapin bohong!” Raga memegang erat bahu Saras hingga menimbulkan suara ringisan dari gadis itu. “Bilang!”
Raga meluruh seolah tak bertenaga membuatnya jatuh terduduk. Tubuhnya bergetar mata merah yang mengembun. “Gue nyesel bantu lo ....”
Kata putus dari Zua adalah hal yang tak mau ia dengar. Namun, setelah apa yang Zua katakan membuat Raga menyesal setengah mati telah membantu Saras dan melewatkan waktu yang harusnya ia habiskan bersama Zua.
“Maaf, tapi aku bisa apa?”
-——-
Egi menghentikan motornya di pinggir jalan. Dia berbalik menatap orang yang sedari tadi diam.
“Mulai sekarang jangan deket sama dia lagi. Gue gak suka lo nangis kejer kayak gini. Dengerin dan turutin apa yang gue minta sekarang,” ucapnya seraya mengusap air mata sahabatnya. Dia mengulas senyum kemudian merapikan anak rambut yang menghalangi mata Zua.
“Berhenti berharap lagi, Zua. Cukup gue berjuang dapetin lo, nggak perlu lagi ngejar orang yang mau lepas dari lo. Lo segalanya bagi gue, gak ada ucapan apapun yang perlu gue tutupin lagi.”
Zua tak menjawab, dia hanya mengeluarkan isakannya yang masih tak mau berhenti.
“Biarin gue rebut hati lo dari mantan lo.”
Sudah kesekian kalinya dia melihat Zua menangis setelah bertemu Raga yang membuat Egi membenci laki-laki itu. Akan tetapi, kali ini Egi bersyukur karena Zua dapat memilih pilihan yang tak akan membuatnya merasakan sakit hati lagi.
Dan sekarang kesempatannya untuk dapat memilik Zua semakin besar. Tak akan ada lagi yang akan jadi halangannya.
——
Jangan lupa follow _penarasa
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...