Matahari yang sudah berada tepat di atas kepala tak mampu membuat Zua yang duduk di bawah pohon rindang bergeming dari lamunannya. Sudah hampir satu jam setelah istirahat kedua dia seperti itu, tangan mungilnya sesekali meremas rok sekolah saat pikiran dan emosinya tertuju pada sosok laki-laki yang terus mengganggu pikirannya.
Dulu, Zua yakin bahwa seorang Saras Febriani tak akan menganggu kehidupannya jika dia berhubungan dengan Raga, namun dugaannya ternyata salah. Perempuan itu seperti memiliki dendam tersendiri, setelah putus pun.
Semalam dia terjaga, menanggung kesakitan di punggungnya yang terasa ketika Zua membaringkan badan diatas ranjangnya. Sungguh, dia sangat menyayangkan atas sikap Saras kemarin. Berparas cantik, tetapi bersikap seolah tak punya hati.
Lamunan Zua buyar kala seseorang memasukan satu plastik berisi cilok ke genggaman tangannya. Dia tertegun sebentar sebelum akhirnya menatap sang pelaku yang duduk santai di sampingnya. Tanpa banyak bicara Zua menusuk cilok itu lalu memakannya.
"Udah gue bilang gak usah dipikirin lagi, Zua."
Pada akhirnya Egi tetap tahu saja apa yang tengah mengganggu Zua. "Nggak ada, siapa yang mikirin dia."
"Halah, gue tahu gelagat lo." Egi membuka mulut, Zua yang mengerti lantas memasukan cilok ke mulut Egi. Menaruh plastik yang masih berisi di sampingnya.
"Sok tahu kamu, lagian mana mungkin cowok kayak dia aku peduliin lagi. Dia udah bukan siapa-siapa aku juga, kan?" Zua mendesah kecewa, ada sebagian hatinya tak terima pada fakta tersebut.
"Cowok masih banyak, bukan dia aja. Gue bisa gantiin dia kalo lo mau." Beberapa saat hening, Zua hanyut dalam pikirannya.
Egi menarik kepala Zua agar bersandar pada bahunya.
"Raga berarti bagi aku, Egi."
Egi yang berada di sampingnya jelas tahu kalau Zua masih belum sepenuhnya dapat melupakan Raga. Tak bisa dipungkiri hatinya terasa remuk dalam sekejap, dia mengusap surai sebahu Zua seraya tersenyum kecil. "Kenapa lo putus sama dia kalo masih cinta?"
"Kamu tahu sendiri ... dia sering sakitin aku lewat tingkahnya yang lebih mentingin Saras. Bahkan dia juga sering bohong, aku capek sama Raga," ujar Zua pelan dan beranjak pergi.
"Zua! Bolos, ya?!" Melihat arah jalan gadis di depannya yang berlawanan arah dengan area sekolahnya membuat Raga berspekulasi.
Dari kejauhan gadis itu mengangguk tanpa berbalik.
Egi membalikan tubuhnya ke belakang, mengambil apa yang dia simpan sedari tadi dan ikut mengejar sahabatnya. Dia mensejajarkan langkahnya dengan Zua. "Kebetulan gue bawa tas lo sama punya gue."
"Bilang aja sengaja, susah amat."
"Tahu aja lo." Egi tertawa pelan. "Gue bilangin bunda kalo lo bolos, ya, Zu."
"Yaudah bilang aja nggak apa-apa, ntar aku juga bilang kamu yang ngajak aku bolos." Zua tersenyum puas dengan terus berjalan menyusuri terotoar yang sepi akan lalu lalang orang.
Tangan Egi bergerak menyentil kening Zua membuat sang empu mendengkus kesal. "Giliran kayak gini nyalahinnya ke gue."
"Biarin." Zua menengadahkan kepalanya, menatap tas Egi yang menghalangi terik matahari ke arahnya.
"Biar nggak kepanasan."
Sementara tasnya tersampir dibahu laki-laki itu. "Percuma, tetep aja kepanasan," balasnya seraya mengambil alih tas miliknya.
"Eh motor kamu gimana? Ditinggal gitu aja?" Pikirannya tiba-tiba melayang kearah sana, karena pagi tadi Zua berangkat dengan Egi menggunakan motor yang biasa laki-laki itu pakai.
Yang ditanya menggaruk tengkuknya disertai cengiran. "Ya ... gitu. Gue suruh temen aja bawa tu motor ntar."
Zua berhenti, dia berbalik menatap lekat Egi. "Kenapa nggak sekarang aja? Bentar lagi bel pulang pasti bunyi."
Egi manggut-manggut kepala, merogoh handphone yang berada di saku celananya, mengirimkan sebuah pesan pada salah satu teman sekelasnya.
"Heh! Ada mobil!"
Baru saja pandangannya jatuh pada Zua yang malah kembali berjalan tanpa menatap sebelah kiri dimana mobil melaju. Dengan gerakan cepat, Egi dapat menarik tangan Zua, menghentikan langkah perempuan itu yang akan menyebrang sembarangan.
"Bengong boleh, tapi tahu tempat juga kali." Karena gemas Egi menarik kepala Zua, menggigit pipi sahabatnya yang chubby.
Lain halnya Zua, gadis itu berontak dari Egi. Sekuat tenaga tangannya mencoba menjauhkan kepala Egi, namun apa daya ketika dia malah memeluk kepalanya.
"Nggak bisa napas ih, Gi! Cepet lepasin! Kamu mau aku mati karena kamu peluk?" paparnya seraya terus mencoba melepaskan tangan Egi yang semakin mengerat.
Laki-laki itu terkekeh tak mengindahkan ucapan Zua, dia malah menarik bahu Zua dari samping dan kembali berjalan dengan Zua yang masih dia peluk. "Jalan, yuk. Kita berdua aja, mau nggak?"
"Dih, orang kita lagi jalan juga."
"Perasaan lo sensi amat deh hari ini," tutur Egi heran pada Zua.
"Nggak, itu perasaan kamu doang."
Egi menepuk pelan bibir Zua. "Ya emang perasaan gue, bego!"
"Aku bilangin ayah kamu suka kekerasan!"
"Apasih, gitu aja kekerasan ah." Egi menggenggam tangan Zua, memimpin langkah di depan. Mereka memasuki sebuah minimarket lalu melepaskan tautan tangan mereka.
Zua berjalan mengikuti Egi, hari ini dia tak mau ikut andil atas apa yang akan Egi lakukan. Zua terlalu malas kali ini.
Beberapa menit kemudian setelah mereka keluar dengan satu kantung yang Egi bawa. Zua duduk lesehan dengan kaki diselonjorkan di lantai luar minimarket itu. Dia tak memperdulikan orang-orang yang mungkin menatap heran ke arahnya.
Egi ikut berjongkok, dia mengulurkan satu susu kotak yang langsung di terima Zua. "Mau gue pijitin kaki lo?" tawarnya seakan tahu apa yang kakinya rasakan.
"Nyoba cosplay jadi tukang urut ceritanya?"
Laki-laki itu terbahak. "Ganteng gini disebut tukang urut, tapi boleh deh kalo lo yang jadi pasien urutnya. Cape ya?"
"Nggak, nggak usah nggak perlu. Seret aja tenggorokan, capeknya juga udah kebayar sama ini susu kotak dari kamu," balas Zua.
Egi mengangguk, dia mengusap keringat di pelipis sahabatnya menggunakan jarinya. "Pulang mau jalan kaki?"
Zua tiba-tiba tersedak minumannya.
"Pelan-pelan." laki-laki itu menepuk-nepuk pelan punggung Zua. Takut-takut luka kemarin bisa terasa lagi oleh sahabatnya.
"Ya kamu, Egi. Siapa yang mau jalan kaki, rumah aku aja jauh dari sini. Kalo kamu gendong ya bisa aja kita jalan kaki," ujar Zua sekenaknya, dia memperbaiki posisinya menjadi duduk yang diikuti oleh Egi.
"Enak di lo nya, berat di gue."
Zua tertawa, dia menatap lurus ke arah jalan yang ramai.
"Nggak usah sedih lagi, gue bahagia lihat lo bisa ketawa lepas kayak sekarang. Lepasin yang jadi beban pikiran, coba hal baru mau nggak?"
Gadis itu mengalihkan atensi bingung dengan arah topik Egi. Netranya bertubrukan dengan dia yang mengulas senyum tulus.
"Kayak jadi pacar gue misalnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...