Raga melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata, mobil milik Mamanya yang sengaja ia pakai tanpa meminta ijin. Walau kepalanya tengah dilanda rasa pusing luar biasa, Raga tetap memaksakannya untuk tetap mengantarkan Zua yang kini terisak dengan mata yang terpejam.
Gadis itu tak tidur, hanya menutup mata seraya berharap bahwa yang Zua alami hari ini adalah mimpinya semata. Rasanya tak mungkin kalau Egi bisa berbuat nekat seperti tadi hanya untuk mendapatkannya. Tak satu orang yang jadi korban, bahkan Saras dan Raga pun salah satu korbannya.
Zua tetapkan hari ini adalah yang tidak disukainya, pertemuan yang berakhir dengan pertikaian, dia tak menginginkan ini. Kepercayaan pada sahabat satu-satunya yang Zua kenal bukan lagi sahabatnya kali ini. Hubungan dan kedekatannya yang sudah terjalin lama seakan lenyap begitu saja, tak ada lagi kepercayaan yang Zua tanamkan pada Egi.
Raga melirik Saras lewat kaca spion, dapat dia lihat perempuan itu tertidur dengan raut muka yang tak tenang dan kepala yang menyandar pada jendela mobil. Dia tahu kalau Saras tak sekuat yang orang kira, dia terlihat begitu rapuh.
Raga memilih diam, membiarkan mereka tenang, setidaknya sampai hati mereka membaik walau sementara waktu. Mereka bertiga meninggalkan Egi yang pingsan di belakang gedung tadi, kala dirinya memukul rahang laki-laki itu hingga merenggut kesadarannya.
Dia menghembuskan napas kasar kala tujuannya telah sampai bersamaan dengan rem yang ia injak. Netranya melirik pergerakan Zua yang keluar dan menutup pintu mobil kasar.
“Kemana?”
Kakinya yang hendak melangkah keluar sontak terhenti mendengar suara serak dari jok belakang mobil. “Bukan urusan lo.”
Saras menggenggam tangan Raga yang berada di atas sandaran kepala jok depan. “Ke rumah sakit, ya? Gue takut lo kenapa-napa, Ga. Kalau tante tahu, tante pasti khawatir sama keadaan lo. Mau, ya?”
Raga tertawa pelan lalu menggeleng tak habis pikir. “Zua lebih penting dari pada sakit di kepala gue yang nggak seberapa. Janji lo yang sempat lo ucapin gue pegang baik-baik, Sar. Gue cape harus berhadapan lagi sama lo, jangan gue aja, tapi Zua juga nggak usah lo bawa-bawa ke masalah lo. Anggap aja yang gue lakuin tadi ... rasa peduli gue sama lo untuk yang terakhir kalinya. Berhenti bilang yang nggak-nggak ke nyokap gue.”
Setelah mengucapkan itu Raga menutup pintu mobil keras, berlari kecil menyusul masuk ke dalam rumah Zua. Meninggalkan Saras yang termenung, tak terasa sudut matanya mengeluarkan bulir bening, cepat-cepat dia menghapusnya.
Tenggorokannya tercekat kala Raga yang selalu mendukung Saras mengatakan itu, seolah tak akan peduli lagi padanya. Melibatkan Raga dan Zua memang rencananya atas dasar permintaan Egi yang 'katanya' akan menerima dirinya jika Raga dan Zua putus. Namun, perkiraannya salah, laki-laki itu tetap memerintahnya, menjadikan Saras layaknya tangan kanan.
Kini rasa penyesalan yan dapat Saras rasakan, tidak akan ada lagi pembelanya untuk sekarang bahkan sepertinya untuk seterusnya.
Saras menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, badannya bergetar seiring isak tangis yang lolos dari bibirnya.
“Maaf, Raga. Gue minta maaf ...”
-——-
Raga melirik Zua yang masuk ke dalam kamar mandi, napasnya tertahan, tak ingin berlama-lama dia mempercepat langkahnya menghampiri pintu bercat coklat yang tertutup.
Dia terus mengetuk-ngetuk pintu itu dengan sesekali memutar knop, berharap dapat terbuka karena cemas akan Zua. Apalagi orang rumah yang pergi keluar, terlihat dari suasana yang sepi. Jujur ini adalah kali pertamanya Raga masuk ke dalam rumah Zua.
Hingga beberapa menit kemudian pintu itu terbuka, menampilkan raut datar. Fokus Raga beralih pada netra teduh Zua yang begitu kentara habis menangis.
Zua meremas bajunya kuat. “Ngapain? Ngapain ngikutin, ha?!” tanya Zua lantang di tengah suaranya yang serak.
“Zua—”
“Mau puas-puasin aku lagi, Ga? Kamu seneng lihat aku dikecewain sahabat aku sendiri? Ini yang kamu mau selama ini? Penderitaan aku, kan? Sekarang gimana? Kamu udah puas lihat akhirnya?” Suara Zua memelan saat merasakan matanya berembun.
Raga tak bergeming di tempatnya, dia tak mampu berkata-kata.
Zua bersandar di ambang pintu kamar mandinya, menutup pintu menggunakan satu tangan dan terus menatap Raga yang termangu dalam diam. “Kalau kamu ngikutin aku cuma buat nambah pikiran aja ... lebih baik keluar. Sebelum aku harus ngusir kamu dengan kasar, sama kayak kamu ngusir aku waktu itu.”
Spontan saja pikiran Raga tertuju pada kejadian dulu, di mana dirinya mengusir Zua. Dia menghela napas berat, mengukir senyum simpul. Hingga laki-laki itu melupakan akan luka-luka yang Egi tinggalkan pada wajah serta kepalanya. Tangannya meraih pipi Zua lalu mengusapnya pelan.
“Aku di sini buat kamu, Zu. Bukan untuk hal lain.”
Zua tertawa dengan air mata yang terus mengalir, dia menyentak tangan Raga. “Aku cape ... datangnya kamu bakal ninggalin kecewa lagi, aku yakin itu. Udah cukup, jangan tarik ulur perasaan aku lagi. Kalau kamu mau pergi ya pergi aja ... jangan peduliin aku lagi, lupain rasa yang pernah hadir ...”
Mata Raga memerah dan tangan yang terkepal erat. “Aku di sini buat kamu, Zua!”
Air mata Zua kian tak mau berhenti, pandangannya berubah sendu, badannya meluruh ke lantai.
Tak kuasa melihat orang yang Raga cintai seperti itu, dia berjongkok dan menarik Zua ke dalam dekapannya, menyalurkan rasa hangat dari tubuh Raga. Tangan laki-laki itu tak tinggal diam, mengusap surai Zua lembut.
Raga mendekatkan bibirnya ke telinga Zua. “Aku di sini buat kamu, Zu. Jangan nyuruh aku berhenti dapatin kamu lagi. Mau denger nggak? Apa yang aku lakuin ke kamu buat lindungin sepupu aku, Saras. Aku nggak akan bantu dia, kalau tahu lewat tangan aku ... aku harus lukain pipi kamu. Mentingin dia sampe aku lupain kalo kamu juga butuh aku. Selama ini dia sering diperlakukan nggak baik sama Egi, makanya aku bantu dia. Bahkan aku nyesel, harus minta orangtua aku buat bohong di hadapan kamu kalau aku itu tunangan sama Saras. Kenapa mama nggak suka sama kamu? Itu semua karena Saras yang jelekin kamu di belakang aku, tanpa sepengetahuan aku. Pengen marah rasanya, di sisi lain aku juga nggak tega sama dia,” jelasnya dengan tenang dan penuh keyakinan.
“Aku juga jelas menderita, maaf. Dulu pilihan aku cuma ada 'biarin Saras dilukain sama Egi atau abaiin kamu'. Tapi, ternyata dua-duanya emang salah. Nggak ada yang nguntungin. Buktinya aku lindungin Saras pun, Egi tetep aja ngelukain dia, dan kamu juga akhirnya malah sakit hati karena dibohongin.”
Entah Zua mendengarkan atau tidak, Raga tetap berbicara walau suara isak tangis yang keluar dari Zua yang masih berada di dalam dekapannya, baju bagian dadanya terasa basah. Raga mengecup lama rambut Zua, matanya ikut terpejam, merasakan sesak Zua yang seakan tersalur padanya. Raga mengeratkan pelukannya yang membuat kepala Zua semakin tenggelam di dada tegapnya.
“Maaf, aku nggak bisa apa-apa waktu itu.” Sekali lagi, dia kembali mengecup surai Zua kemudian berujar pelan, “Jangan nyuruh aku berhenti lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...