Netranya sontak membola ketika melihat tangan yang melingkar di kaki laki-laki itu.
“Cium kaki gue!”
"L-lo bakal terima gue, 'kan?" ujar gadis itu yang tidak diketahui oleh Zua, karena terhalang oleh badan tegap sang laki-laki di depannya.
"Cium kaki gue!"
Dari belakang Zua dapat melihat kaki orang itu yang menyentak tangan di kakinya. Zua hanya mampu diam, tak bisa berkata-kata. Apa di depannya ini sepasang kekasih yang tengah bertengkar? Mengapa laki-laki itu begitu kasar pada perempuan?
Haruskah Zua ikut campur dengan masalah mereka?
"T-tapi lo bakal jadi pacar gue, kan?"
"Telinga lo dikemanain, ha?! Lo nggak denger apa yang gue bilang barusan?"
Cukup.
Zua sudah tak tahan mendengar perintah tak berperikemanusiaan itu. Matanya terpejam sejenak lalu kembali menatap kedua orang itu, dia menggeserkan badannya agar dia tahu siapa gadis yang tengah dikasari ini.
"Kalian ...."
Zua menutup mulutnya tak percaya, gadis itu benar-benar melakukan perintah sang laki-laki, yang lebih mengejutkan lagi gadis yang bersama laki-laki ini adalah Saras.
Sontak saja karena suara Zua membuat kedua orang itu menatapnya dengan terkejut. Bahkan Zua sendiri terkejut menatap laki-laki itu. Dengan napas memburu, sebab emosi yang muncul saat itu juga Zua menatap Egi tajam. "Kamu kenapa, Gi? Kamu apain Saras sampe nyuruh dia cium kaki kamu?!"
Zua tak menyangka orang yang selalu baik padanya bersikap tak manusiawi seperti ini.
Egi mendekat, berusaha menggapai tangan Zua. "Gu-gue bisa jelasin, Zu. Lo salah lihat."
Belum sempat laki-laki itu berhasil menggenggam tangan Zua. Laki-laki itu sudah terjatuh karena seseorang tiba-tiba saja menendang tulang kering Egi.
“Gue udah bilang sama lo kalo gue gak bohong!” Raga menatap nyalang Zua dan menghampiri Saras yang tertunduk dengan posisi yang masih bersimpuh di atas terotoar.
Mata Zua memanas mendengar bentakan dari Raga yang tak seperti biasanya. Zua mundur beberapa langkah, takut.
“Sialan!” Egi bangkit, memukul punggung Raga tanpa ampun. “Gak usah kasar!”
Lain halnya Saras, gadis itu sekuat tenaga mencoba membantu Raga. Perempuan itu berdiri di depan tubuh Raga dengan air mata yang terus membasahi pipinya, rambutnya yang semula rapi kini terlihat begitu berantakan.
Napas Raga begitu memburu, benci dan emosinya semakin menjadi-jadi melihat pergerakan Saras. "Minggir, Sar!"
"Nggak! Jangan libatin Raga lagi, gue mohon." Saras menggeleng keras, tetap dengan posisinya di depan tubuh Raga, dia menatap lurus Egi. "Gue cinta sama lo, Gi! Apa yang harus gue lakuin supaya lo terima gue jadi pacar lo?'
Egi tertawa pelan, dia menoyor kening Saras dengan jari telunjuknya kasar lalu beralih memegang bahu gadis itu erat membuat Saras meringis. “Gue gak cinta sama lo! Nggak akan pernah!”
Zua terpaku di tempat, bukannya Saras adalah sepupu Egi? Kenapa perempuan itu bisa menaruh perasaan pada orang yang jelas tak akan bisa bersama? Otaknya dipenuhi pikiran negatif sekarang.
Raga menyentak tangan Egi lalu menunjuk tepat pada muka laki-laki itu. "Lo kira Saras apaan, ha?! Dia juga punya perasaan! Jangan mainin perasaan dia layaknya boneka!" sentak Raga seraya kembali memukul keras rahang Egi.
"Orang yang lo anggap baik itu sebenarnya buruk, Zua! Lihat 'kan lo apa yang barusan dia perbuat," papar Raga seraya terus membogem Egi.
Zua yang berada beberapa meter dari mereka hanya terdiam dengan pikiran yang kini dipenuhi banyaknya pertanyaan. Dia memberanikan diri untuk menatap mereka secara bergantian. Sebulir air mata jatuh di sudut mata gadis itu.
"Aku nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi di sini," sahut Zua pelan, namun terdengar oleh mereka bertiga karena jarak yang tak begitu jauh darinya.
Raga melepaskan tangannya pada kerah baju Egi kasar hingga jatuh dengan wajah yang sudah dipenuhi oleh memar. Raga mendekati Saras dan menggenggam tangan gadis itu erat lalu berjalan menghampirinya dengan dada laki-laki itu yang naik turun.
Mata Zua berkaca-kaca melihat bagaimana Raga membela Saras sampai sebegitunya. Dia mengalihkan pandangannya ke samping mencoba menatap ke arah lain. Meskipun dua orang lawan jenis itu tengah berdiri tepat di depannya.
“Kamu nggak usah cemburu lagi karena Saras,” ucap Raga dengan nada bicara yang berubah lembut, dia melirik Saras yang tengah mengusap pipinya yang basah karena menangis. Raga menghela napasnya kasar lalu mencondongkan badannya dan mendekatkan bibirnya tepat di samping telinga Zua. “Saras sepupu aku, bukan sepupu Egi. Yang kamu kira aku tunangan sama dia itu sebenarnya juga nggak bener. Kamu tahu? Apa yang aku lakuin ke kamu itu sebab aku mau lindungin dia. Saras itu baik, Zua."
Bug
"Raga!" teriak Saras begitu lantang, jantungnya berdetak kencang bersamaan dengan napasnya yang kembali memburu ketika Raga tersungkur dengan tangan yang memegang kepalanya.
Sementara Zua membatu di tempatnya, memandang takut orang yang memukul kepala Raga menggunakan kayu. Bahkan telinganya menangkap suara yang dihasilkan dari pukulan itu.
Zua menggeleng sembari melangkah mundur saat Egi mendekat ke arahnya. Tatapan laki-laki itu begitu bersibobrok dengan netranya, Zua tak tahu arti dari senyuman yang terpatri dari Egi.
Wajah yang dipenuhi memar juga sudut bibir yang terus meneteskan darah segar. Tanpa diminta air mata Zua berjatuhan membasahi pipinya, dia terisak tanpa suara.
“Jangan deket-deket, Gi,” lirih Zua dengan nada yang bergetar. Dia terus melangkah mundur ketakutan, karena Egi yang mendekatinya. "Aku bilang jangan mendekat! Pergi! Jangan temuin aku lagi!"
Berbeda dengan Saras yang terus memanggil-manggil Raga, menyuruhnya agar tetap bangun.
"Ga, sadar. Jangan merem, gue mohon jangan merem, Raga. Gue janji ... ini terakhir kalinya gue nyusahin lo."
Raga mencoba tetap sadar di tengah netra tajamnya yang akan mengabur. Tangannya meraih bagian kepala yang terasa basah, samar-samar dia melihat tangannya yang berlumuran darah.
Saras yang disampingnya mengusap air matanya. "Ke rumah sakit, ya?" ujarnya pelan.
Raga mengabaikan Saras, dia mencoba berdiri.
"Raga, gue bantu lo jalan, ok? Kita ke rumah sakit sekarang juga." Saras memapah Raga, namun laki-laki itu malah melepaskan tangan Saras yang bertengger dari pundaknya. "Kepala lo berdarah, Ga.”
"Zua lebih penting daripada gue!" sentak Raga seraya berjalan menghampiri asal suara Zua.
"Aku bilang pergi! Jauh dari kehidupan aku!"
Teriakan Zua membuat Egi menghentikan langkahnya, hanya tinggal dua meter lagi jaraknya dengan Zua.
Tangan laki-laki itu mengepal erat, Egi menggertakan giginya. "Gue gak akan pergi ninggalin cewek gue sampai kapan pun," ungkapnya sembari menarik Zua kasar pada pelukannya.
Zua meronta-ronta dari pelukan Egi, tangannya memukul punggung laki-laki itu yang sama sekali tak meresponnya. "Lepasin!"
"Gue gak akan lepasin cewek gue, karena lo milik gue." Egi meremas kuat punggung Zua, bermaksud menyuruh perempuan itu agar diam.
"Aku nggak sudi punya cowok kaya kamu! Lepas!"
Egi melepaskan Zua, atensinya beralih pada rambut sahabat sekaligus orang yang dia cintai dan menarik surai itu kencang. Saat itu pula Zua memekik keras kala rambutnya terasa tengah dicabut paksa.
Tak ada siapapun disekitar mereka yang dapat menolongnya, mungkin karena sekitaran gedung itu yang selalu sepi.
"Lo cewek gue bangsat!"
Bug
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...