“Lo deket ya sama Ratih? Sedekat apa sama dia selama gue jauh dari lo?” Semenjak Zua menjauhinya, Egi hanya bisa melihat sahabatnya ini berinteraksi dengan Ratih dan Adam dari kejauhan saja.
Mereka berdua berjalan berdampingan di koridor sekolah dengan tas yang tersampir di pundak keduanya. Pagi tadi, Egi kembali menjemput Zua untuk berangkat bersama setelah sekian lama tak dekat.
Egi membalikan badan, menatap ke belakang karena Zua tak kunjung menjawab pertanyaannya. Dia berdecak saat sadar kalau sahabatnya ini tengah menatap kosong seraya membututinya berjalan di belakang. Laki-laki itu mencondongkan kepalanya ke telinga kanan Zua dan berbisik pelan, “Gak boleh bengong ntar kerasukan, loh.”
Zua meremang di tempatnya, dia terdiam beberapa saat lalu menepuk pipi Egi saat sadar wajah dia begitu dekat dengannya. “Jauh-jauh sana.”
“Galak banget jadi cewek.” Egi meringis, dia mengusap pipinya kesal.
Sementara gadis berambut sebahu itu mengedikan bahunya kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Egi yang melihat itu dengan cepat menggenggam tangan Zua dari belakang.
Entah hanya perasaannya atau apa, tapi Zua merasa hampa. Tidak ada rasa senang juga sedih. Tiba-tiba nama Raga terlintas di pikiran, apa pacarnya marah karena perlakuan dia kemarin?
Zua tidak mendapat kabar apapun dari laki-laki itu, bahkan satu pesan pun tidak ada. Ini bukan pertama kalinya, tapi ini kesekian kalinya. Hampir setiap hari setelah kedekataan Saras dan Raga dia selalu begini.
Harusnya Zua merasa biasa saja namun, kali ini benar-benar terasa berbeda. Ada rasa khawatir juga kecewa secara bersamaan mengingat apa yang dilakukan Raga akhir-akhir ini padanya. Apa Zua harus menemuinya agar bisa meminta kejelasan dan memaksa pacarnya berbicara jujur?
Haruskah Zua memafkan Raga dan memulai semuanya dari awal, karena masalah dalam sebuah hubungan memang sering terjadi, kan? Ya, sepertinya dia harus menemui laki-laki itu.
Zua menghela napas kasar mengingat Saras juga adalah orang spesial bagi Raga. Jadi, Zua tetap bertahan dan harus siap menahan sakit hati.
Mereka berdua memasuki kelasnya lalu duduk di kursi tempat masing-masing mereka duduk. Zua menatap arloji yang melingkar di tangannya, masih ada sekitar delapan belas menit sebelum bel masuk berbunyi.
Sembari menunggu guru masuk Zua menyembunyikan kepalanya dilipatan tangan. Matanya terpejam erat ketika pikirannya kembali tertuju pada Raga.
Egi di belakangnya jelas tahu apa yang menjadi beban pikiran Zua. Dia mengusap kasar wajahnya kemudian melenggang keluar kelas dengan perasaan kecewa.
Laki-laki itu tak tahu harus melakukan apa agar sahabatnya bisa menjauh dari Raga, juga mengubur perasaannya kalau terus saja begini. Dia sadar walau seberapa besar pun dia mencintai Zua, sahabatnya juga mencintai laki-laki lain, bukan dirinya.
Sayang sekali, perasaan dia semakin hari semakin besar. Ada dua hal yang membuatnya seperti itu. Mungkin saja, sahabatnya akan balik mencintai dirinya, karena dia adalah laki-laki yang dekat dengan Zua setelah sekian lama. Hubungan Zua dan Raga yang semakin merenggang pun membuat tekadnya untuk memiliki Zua semakin kuat.
Di balik kegigihannya semua itu juga bisa saja Zua menjauh darinya, sebab perasaan sahabatnya masih berlabuh pada Raga.
Egi duduk seraya bersandar di sebuah pohon rindang yang berada di belakang sekolah. Digenggamannya sebuah lipatan photo dirinya dan Zua. “Kapan lo balas cinta gue, Zua? Lama, bahkan udah beberapa tahun perasaan gue tumbuh. Apa Tuhan bakal ijinin lo jadi milik gue? Apa lo juga bakal ngerasain apa yang gue rasain? Gue bakal coba, Zu. Coba pertahanin rasa ini sampai Tuhan buat kita pacaran lewat takdirnya. Selagi gue belum nyerah, kesempatan buat dapetin lo masih bisa.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...