“Kiri.”
Saat itu juga angkutan umum itu berhenti tepat di dekat gerbang sekolahnya. Raga menggenggam tangan Zua seraya menariknya pelan mengikuti Raga untuk turun.
Dia merogoh saku celana abunya, mengambil uang lalu memberikan pada sang kenek sebelum akhirnya angkutan umum itu kembali melaju meninggalkan mereka. Beruntung ketika motor Raga disita dan uang jajannya distop, Raga masih memiliki simpanan uang yang terbilang lebih dari cukup. Tentu saja, dulu setiap hari Mamanya hanya memberikan seratus ribu perhari, walau terkadang saat pulang ke rumah selalu ada lagi pemasukannya.
“Ga, aku duluan, ya?” tanya Zua dengan melepaskan genggaman tangannya. Raga menatap bingung Zua yang bergerak tak karuan, kentara tengah gelisah.
“Kenapa duluan?”
“Tugas fisika belum aku kerjain.”
“Emang nggak takut kalau ada Egi?” tanya Raga membuat Zua menggigit bibirnya, takut.
Gadis itu baru mengingatnya, kemarin Egi terlihat baik-baik saja. Ada kemungkinan hari ini sahabatnya itu pasti sekolah, Zua masih takut jika harus bertatap muka. Seandainya saja Egi bersikap biasa, mungkin masalahnya tidak akan seperti sekarang. Dia masih mengingat jelas saat kemarin dengan lantangnya Egi mengatakan bahwa dirinya hanya milik laki-laki itu. Terlihat gila baginya.
Hanya tidak mau menemui Egi bukan berarti Zua harus bolos sekolah, kan?
Zua menarik napasnya panjang, meremat roknya kuat-kuat dan kembali merenggangkannya. “Dia pasti sekolah, ya? Kalau Egi ngelakuin apa-apa gimana dong, Ga? Aku takut dia kayak kemarin-kemarin.”
“Ini sekolah, dia nggak mungkin berani apa-apain kamu. Tapi, kalau dia berani, bilang sama aku, ya. Lagian kita searah, Zua. Barengan aja, ayo.”
Mereka kembali berjalan beriringan saat laki-laki itu menautkan tangannya di tangan lentik Zua. Raga melirik ke arah samping, mengulum senyum melihat gadis itu yang terlihat tengah memikirkan sesuatu. “Masalah tugas, biar aku aja yang kerjain. Kapan jam pelajarannya mulai? Kamu pindah tempat duduk, tukeran sama yang lain. Usahain jangan di dekat kursi dia. Belakang pacarnya Adam aja.”
Zua mengangguk samar, tatapannya masih lurus ke depan. “Selesai istirahat ke satu, aku nggak minta kamu kerjain, Ga. Cuma mau cepet selesai, lebih cepet lebih bagus,” jawabnya.
Bukan. Bukan perihal tugas yang Zua takutkan. Dia merasa tak enak saja perasaannya kali ini.
Mereka menghentikan langkahnya di samping pintu kelas Zua yang terbuka. Raga mengusap rambut bagian depan Zua lalu turun ke wajah gadis itu. Seraya mengangkat dagu dan mengusap pipi Zua, Raga berujar lembut, “Jangan takut, aku ada buat kamu, Zua. Sana gih, belajar yang bener.”
-——-
Raga menatap ke arah kursi Egi yang terisi tas sebelum akhirnya dia mencekal lengan seorang siswi yang akan memasuki kelas itu. “Lihat Zua nggak?”
“Oh, Zua. Pas gue ke toilet sih, dia ke arah taman sekolah.” Siswi itu mengedikkan bahu. “Kayaknya.”
“Oke, thanks ya,” ujarnya sembari berlari, takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan pada Zua.
“Batu!”
Tidak jauh darinya berdiri, Zua yang tengah bersandar di batang pohon besar dengan spontan menatap ke arahnya lekat. Jari laki-laki itu bergerak mendorong kening Zua, kesal. Kemudian ikut menyandarkan badannya di pohon itu, tepat di samping Zua. “Di sini sepi, ngapain sendirian? Hmm? Sengaja mau nyari masalah biar Egi ikutin kamu?”
Gadis itu mencebikkan bibirnya, mengusap kening yang tadi Raga dorong. “Dih, nggak. Aku ke sini ngehindarin Egi, Raga,” dalih Zua.
“Jangan sendirian, kamu 'kan bisa tunggu aku ke kelas kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny (Complete)✔
Teen FictionBEBERAPA PART DIPRIVATE, FOLLOW TERLEBIH DAHULU ••• Bagi Zua, patah hati adalah luka yang disengaja atau konsekuensi saat jatuh cinta. Tahu rasanya seperti apa, karena akhir-akhir ini takdir membuatnya merasakan. Saat Raga berstatus pacar, akan teta...